INDONESIAN JOURNALIST WRITE THE TRUTH

27.8 C
Jakarta
Jumat, Maret 29, 2024

Tujuh Tahun Pemerintahan Jokowi: Aktivis 98 Menuntut Tuntaskan Agenda Reformasi

Oleh : Ir S Indro Tjahyono, Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78

Jakarta – Adalah PPJNA98 (Perhimpunan Pergerakan Jejaring Nasional 98) yang mengiinisiasi perlunya evaluasi terhadap kinerja Kabinet Indonesia Maju pada pemerintahan Jokowi periode kedua. Pasalnya selama masa pandemi Covid 19 LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) melaporkan bahwa sebanyak 70% penyelenggara memiliki harta yang kian melimpah. Hal ini terjadi bukan hanya di lembaga eksekutif, tetapi juga di lembaga legislatif.

Kurang Kreatif dan Inovatif

Kondisi ini, menurut Anto Kusumayudha Ketua PPJNA98, sangat melukai hati rakyat. Sementara masyarakat pada masa pandemi kehidupannya makin susah akibat diberlakukannya PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), di lain pihak penyelenggara negara dalam posisi makan gabut (gajih buta). Apalagi kalau melihat kinerja para menteri di jajaran Kabinet Indonesia Maju tidak bisa dikatakan moncer.

Peranan kementerian dalam berkontribusi untuk menahan laju kenaikan angka korban Covid 19 tidak signifikan, kecuali menerima pemotongan anggaran belanja atau refocusing alokasi anggaran dialihkan kepada pos anggaran penanggulangan Covid 19. Kementerian-kementeriaan yang berkorelasi langsung untuk mendongkrak pertumbuhan dan stabilisasi neraca anggaran tidak sukses dalam menahan defisit anggaran. Hutang terus bertambah, piutang pun tidak berhasil dicairkan.

Kementerian yang selama ini hanya berperan sebagai pengguna anggaran tidak memiliki kreasi dalam merumuskan kebijakan dan program yang dapat mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat. Di lain pihak aktifitas mafia saat lembaga pemerintah makin meningkat di semua sektor. Pemerintah juga dipandang tidak berhasil memberantas mafia tanah yang semakin merajalela melakukan perampasan tanah-tanah rakyat.

Reshuffle Sekarang Juga

Oleh karena itu sangat beralasan jika PPJNA98 mendesak Presiden Jokowi segera melakukan reshuffle. Semua sektor di kementerian mengalami stagnasi dan berlindung di balik pandemi Covid 19 untuk memaklumi pencapaian program yang nyaris meleset semua. Menteri-menteri yang dipilih dari partai politik ternyata hanya menginginkan jabatan dan tidak visioner, akibatnya miskin inovasi dan kreatifitas untuk memulihkan keadaan.

Yang memprihatinkan ,pada masa pandemi Covid 19 kinerja pemberantasan korupsi tidak menunjukkan hasil yang patut dipamerkan. Yang dibongkar hanya korupsi-korupsi gurem, yang notabene tidak sepadan dengan berapa banyak dana yang telah dikeluarkan untuk menghidupi lembaga anti rasuah ini setiap tahun. Banyak korupsi yang pada saat diadili dan divonis justru menunjukan antiklimaks seperti Korupsi Bansos di Kementerian Sosial.

PPJNA juga mempermasalahkan bagaimana Presiden merekrut para pejabat di sekitarnya yang seperti tidak memiliki kriteria yang jelas. Banyak orang yang kapabel justru tidak ditempatkan pada posisi strategis sebagai pembantu presiden. Di lain pihak justru orang yang komitmen dan integritasnya diragukan menduduki jabatan yang penting, termasuk para lawan politik.

Sikat Mentalitas Orde Baru

Semua ini mengisyaratkan tuntutan dari eksponen 1998 agar Presiden mengakhiri politik dagang sapi dalam memformulasikan Kabinet Indonesia Maju pada masa-masa akhir jabatannya. Kalau sebelumnya pelaksanaan hak prerogatif presiden dalam menentukan pembantunya di kabinet sangat mengecewakan relawan, semoga ke depan tidak mengecewakan para aktifis yang notabene tahu persis komitmen mereka dalam mewujudkan marwah Reformasi. Mentalitas Orde Baru belum sirna, karena presiden lebih mengutamakan dukungan politik daripada kinerja atau kualitas SDM para menterinya.

Seperti ada kesengajaan dari Presiden untuk memilih orang-orang yang kurang pengalaman untuk menjadi pembantunya, sehingga tidak mendikte presiden. Kedua, peran pembisik yang sangat kuat saat presiden menunjuk pembantu sangat terasa, sehingga tanpa disadari terbentuk kroni atau koncoisme di sekitar istana. Akibatnya keputusan presiden tidak lagi rasional, misalnya dalam pembangunan infrastruktur perhubungan dan kebijakan ketahanan pangan.

Kini hanya tersisa 3 tahun masa jabatan Presiden dan 2 tahun tersisa bisa disebut tahun-tahun politik jelang 2024. Di tengah-tengah banyaknya proyek yang pernah dicanangkan presiden, jika tidak ada pembantu yang tangguh, dipastikan kita semua akan menghadapi banyak proyek mangkrak seperti jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaiknya Presiden tidak gamang dalam menentukan para pembantunya, karena pemerintah ini terlalu kuat akibat dukungan politik serta dukungan dari aparat penegak hukum dan aparat pertahanan***

Latest news
Related news