28.5 C
Jakarta
Senin, April 28, 2025
spot_img

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Politisi versus Akademisi

Oleh Aprinus Salam

Kita perlu memahami beda politisi dan akademisi. Dalam bahasa Indonesia, suku kata si dimaksudkan sebagai atribusi yang mengacu kepada yang diatributkan (subjeknya, atau orangnya). Jadi, politisi adalah orang yang berpikir, bergerak, bersikap, bertindak, bekerja, dalam kerangka politik. Akademisi adalah orang yang berpikir, bergerak, bersikap, bertindak, bekerja dalam kerangka akademik.

Politik (aslinya bersasal dari bahasa Yunani, polis, yang berarti negara) adalah suatu pengertian yang bisa beragam, sesuai dengan konteks penggunaan kata politik itu sendiri. Tapi, dalam kontek ini, dapat dikatakan adalah aktivitas yang terkait dengan urusan, pengaturan, dan hal-hal bernegara.

Orientasi para politisi adalah bagaimana ikut dan terlibat dalam pengelolaan bernegara. Sebab negara menjadi poros terpenting dalam mengakses berbagai sumber daya. Tidak heran, dalam ruang politik, sifatnya kompetitif, kontestasi, selalu terjadi kebisingan untuk memperebutkan pengaruh, untuk mendapatkan “kekuasaan ikut mengelola negara.”

Politisi akan banyak bersiasat, berstrategi, memanipulasi, harus berani berrtengkar pendapat (tentu tidak akademik), yang implikasinya menang atau kalah.

Sementara itu, pengertian akademi (aslinya dalam bahasa Yunani, akademos: nama tempat atau dewa, atau bisa juga dalam sisi lain diartikan taman atau hutan). Maksudnya lebih dekat dengan pengertian taman kebijakan atau pengetahuan, tempat transfer ilmu-pengetahuan.

Sekarang, pengertian akademi lebih dekat dengan institusi pendidikan tinggi. Suatu ruang dalam orientasi memahami, menjelaskan suatu masalah (objek material tertentu). Dalam cara itu, ilmu pengetahuan dikembangkan dan dilanjutkan.

Bisa juga, akademi adalah suatu upaya yang dilembagakan, dan sedapat mungkin sistemik, sebagai usaha-usaha untuk mengembangkan keilmuan itu sendiri, dalam rangka terus menerus meningkatkan mutu peradaban manusia.

Akademisi akan banyak memahami dan menjelaskan masalah. Banyak melakukan diskusi dan berdebat untuk mencari penjelasan dan pemikiran yang terus berkembang. Akan banyak melakukan percobaan-percobaan (misalnya di laboratorium) untuk memahami dan menjelaskan hukum alam.

Dari pengertian politisi dan akademisi tersebut, jelas adalah dua dunia yang berbeda bahkan bertentangan.

Hal politisi kepentingannya adalah mengakses kekuasaan. Dalam praktik mengakses tersebut, terjadi pengelompokan, karena perbedaan relasi agama, ideologis, kekerabatan, jumlah uang, atau lebih sebagai konstruksi politik yang diwariskan.

Hal akademisi kepentingannya adalah membangun argumen yang lebih akurat agar dapat diterima, demi terjadinya sesuatu hidup manusia yang berkelanjutan, untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Persoalan muncul, adakah yang disebut sebagai politisi yang akademisi, atau akademisi yang politisi. Banyaknya berita seolah memang ada politisi yang akademisi atau sebaliknya. Masyarakat percaya hal itu seolah memang bisa diterima.

Sebenarnya, secara harafiah hal tersebut tidak mungkin. Karena secara ontologis dan epistemoligis kehadiran dua kata tersebut bertentangan, atau bisa disebut contradictio in terminis.

Seorang politisi yang akademisi, mungkin telah bergelar doktor, akan menjadi politisi yang memanfaatkan gelar akademiknya untuk kepentingan politis. Bukan untuk pengembangan dan pengabdian ilmu untuk masyarakat. Sebagai misal, jika ada diskusi, dialog, atau ketika membuat pernyataan-pernyataan, seorang politisi yang akademisi kadang terkesan ilmiah.

Akan tetapi, itu ilmiah semu karena semua dalih dimaksudkan untuk pretensi politis, hasrat untuk menang atas kekuasaan bernegara.

Sebaliknya, seorang akademisi yang politisi juga begitu. Akademisi tadi menempatkan dirinya, misalnya kebetulan sebagai dosen atau peneliti, untuk tujuan-tujuan politik. Jelas argumennya tidak dalam kerangka keilmuan sesuai dengan spesifikasi kepakarannya. Pernyataan dan argumennya tidak jelas, baik pada tataran paradigma maupun dari segi teori, dan metode.

Kalau begitu, apakah menjadi politisi yang akademisi atau akademisi yang politisi tidak boleh? Boleh sekali. Silakan saja. Tapi, jelas perbedaan maknanya sudah sangat jauh dibanding politisi atau akademisi. Tampaknya, lebih berharga seandainya konsisten menjadi politisi-saja atau akademisi-saja.

Masalahnya, menjadi politisi saja dan akademisi saja, tidak laku di negara kita ini. Memang. Hal itu terjadi karena negara dikuasai oleh para politisi yang ngaku-ngaku akademisi.

Dalam negara yang dikuasai politisi yang ngaku-ngaku akademisi, para akademisi-saja itu sekali-sekali hanya dimanfaatkan untuk melegitimasi seolah-olah negara telah berjalan sesuai dengan prosedur akademis. Kadang-kadang, akademisi-saja itu juga mau-mau saja karena di samping tidak punya kuasa politis, mungkin ada godaan lain.

Dulu, ada satu dua akademisi yang politisi ikut-ikutan main di lingkaran kekuasaan dan relatif keren. Situasi itu pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1940-an hingga 1950-an, atau bahkan hingga 1960-an awal. Akan tetapi, jelas mereka lama kelamaan kalah karena tuntutan politis dari dunia politik-bernegara lebih meminta kehadiran politisi.

Secara sejarah dan kebudayaan, bangsa dan masyarakat kita telah dikonstruksi oleh politik, bukan akademik. Atau, kita adalah bangsa politis, bukan bangsa akademis.

Generasi baru akademisi yang politisi juga banyak. Tapi, struktur dan kultur politik secara relatif juga memaksa mereka hanya menjadi politisi yang kebetulan bergelar akademik tinggi.

Terus, apa dan bagaimana solusinya? Saya akan menjawab persoalan ini di lain kesempatan. Dan hanya akan saya jawab di ruang-ruang akademik. (Wartain Banten)

Aprinus Salam

Berita Terkait