25.6 C
Jakarta
Kamis, Oktober 30, 2025

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Harusnya “Negara Warga” dan “Warga Bangsa”

Ini soal sederhana. Soal bahasa, soal kata-kata, soal frasa. Tapi, bisa jadi akan berdampak penting. Misalnya, saya mempersoalkan frasa warga negara, kenapa tidak negara warga. Terus warganya bukan warga negara, tetapi warga bangsa.

Kata atau frasa itu penting, bukan saja akan mengubah paradigma dalam menempatkan hubungan-hubungan dan posisi warga, negara, dan bangsa. Akan tetapi, juga akan menjadi landasan bepikir dalam mempersepsi apa dan siapa warga, negara, dan bangsa.

Kalau warga negara, atribusinya ada di negara. Jadi, warga seolah “milik” negara. Konsekuensi warga “milik” negara, warga harus bersedia diatur dan dikelola oleh negara. Warga ada dalam kendali negara.

Kalau untuk sekedar urusan administrasi kenegaraan, apa boleh buat. Tapi, hanya dalam urusan administrasi kenegaraan, bukan administrasi kewargaan itu sendiri. Negara memang perlu mencatat siapa saja warganya.

Namun, sebagai landasan berpikir logis dan filosofis warga dan kewargaan itu bersenyawa dengan bangsa dan kebangsaan. Hal yang dimaksud warga di sini lebih dekat dengan rakyat. Namun, karena penggunaan kata rakyat mengalami banyak politisasi, maka kata warga bisa lebih mengakomodasi banyak hal.

Secara logis dan filosofis, bangsa itu berbeda dengan negara. Landasan ontologis dan epistemologis bangsa juga lebih mendasar dibanding negara. Bangsa, misalnya, bangsa Indonesia, pengertiannya meliputi himpunan ras, suku, bahasa yang terkonsolidasikan dalam sejarah politik, sosial, dan budaya tertentu. Kemudian, konsolidasi itu secara administrasi diikat oleh negara.

Dengan demikian, secara logis dan filosofis, bangsa ada “di atas” atau “di luar” negara. Jadi, seharusnya warga bangsa, bukan warga negara. Warga bertanggung jawab dan mengabdi kepada bangsa, bukan negara. Negara hanya mengatur administrasi warga dalam konteks kebangsaan.

Kalau warga bangsa, yang menjadi atribusi adalah bangsa atau kebangsaan. Warga menjadi milik bangsa dan tetap dalam diri kebangsaan.

Sudah benar apa yang menjadi Sumpah Pemuda. “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Jadi, Sumpah Pemuda itu tidak bersumpah atas nama negara, tapi atas nama darah, tanah, air, bangsa, dan bahasa, Indonesia. Ini sungguh keren dan luar biasa. Tapi, hari-hari ini kita justru terkurung dengan kuasa negara. Karena kita adalah warga negara, bukan warga bangsa.

Konsekuensi lain, banyak juga yang tidak membedakan antara pemerintah dan negara, seolah pemerintah identik dengan negara. Padahal, tidak. Pemerintah adalah sistem yang dikendalikan oleh pemenang politik untuk mengatur dan mengelola warga. Kemudian, kesannya adalah mengatur dan mengelola warga negara.

Memang, semua hal yang telah menjadi hukum dan diundang-undangkan, terkait dengan semua kepetusan pemeritah yang berkuasa, ia menjadi dan mengikat sebagai hukum bernegara. Yang dikoordinasi hanya warga sebagai warga negara secara hukum administrasi.

Namun, sebagai warga bangsa, warga bangsa bisa menuntut pemerintah yang mengelola negara apakah telah menjalani amanat kebangsaan untuk menjunjung dan menghormati darah, tanah, air, bangsa, dan bahasa, Indonesia.

Jika pemerintah dalam mengelola administrasi negara tidak menghormati nilai-nilai yang menjadi sumpah kebangsaan, tentu pemerintah bisa dinilai telah melanggar hukum dan filosofi kebangsaan. Artinya, pemerintah dalam mengelola negara juga harus menghormati warga bangsa.

Sebagai warga bangsa, tentu warga harus menghormati negara. Karena warga bangsa secara hukum telah menyerahkan dirinya untuk diatur dalam kepentingan negara. Tapi, jangan sampai warga bangsa tertindas nasibnya karena pemerintah telah salah dalam mengurus negara.

Singkat kata, sebagai warga bangsa mengabdi kepada bangsa, otomatis mengabdi kepada negara. Tapi, mengabdi pada negara belum tentu mengabdi pada bangsa.

Oleh Aprinus Salam

Berita Terkait