Oleh: Aprinus Salam
Dalam cerita fiksi, mensejarahkan fiksi itu biasa, dan bahkan cukup banyak. Berbagai novel tentang Gajah Mada, Diponogoro, atau sejumlah tokoh sejarah lainnya, beberapa di antaranya adalah mensejarahkan fiksi. Pramoedya ketika mengisahkan Arok Dedes di beberapa tempat terlihat mensejarahkan fiksi.
Sebaliknya, apakah memfiksikan sejarah merupakan sesuatu yang tidak biasa. Justru juga sangat biasa. Sangat banyak novel fiksi yang tidak kalah serunya justru memfiksikan sejarah. Termasuk tokoh-tokoh sejarah, peristiwa tertentu seperti peristiwa 1965 dan 1998, sudah cukup banyak fiksinya.
Tokoh dan berbagai peristiwa sejarah difiksikan sehingga jangan tanya dan jangan dipersoalkan jika dalam “sejarah resmi” tokoh-tokoh tersebut tidak melakukan hal yang difiksikan. Juga tidak perlu tanya jika sangat banyak peristiwa terkenal yang ada dalam sejarah, ketika difiksikan peristiwa tersebut tidak ada dalam sejarah.
Apakah fiksionalisasi sejarah itu telah melakukan kebohongan atau penipuan sejarah. Tentu tidak, namanya juga fiksi. Fiksi adalah suatu penjelajahan imajinatif yang menelusup jauh ke semua hal yang bisa dinarasikan. Fiksi sering di luar, di atas, atau sesuatu yang tidak sama dengan berbagai fakta yang ada dan pernah terjadi.
Justru, peradaban manusia berhutang kepada kemampuan manusia yang berimajinasi menembus batas fakta, sehingga daya jangkau pengetahuan manusia terus bertambah. Sejarah kehidupan bernegara dan berbangsa juga bisa menjadi bahan fiksi.
Namun, kehidupan bernegara dan berbangsa yang dijalani secara empirik bukanlah fiksi. Begini ceritanya. Apakah hal-hal tentang kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Mataram atau berbagai kerajaan lainnya boleh difiksikan. Tentu boleh kalau memang ditulis secara fiksi sejarah.
Tapi, sejarah yang nyata tetap harus ditulis secara sejarah dan dalam pertanggungjawaban akademik. Berbagai fakta terkait dengan dokumen ataupun arsip-arsip yang relevan harus dilacak selengkap-lengkapnya. Tentu tafsir sangat dimungkinkan, tetapi hal itu bersandar dalam kerja akademik dengan berbagai verifikasi yang akurat.
Selepas dari kerja tersebut, sandaran lain dalam melakukan analisis tafsir untuk menilai dan memutuskan sesuatu adalah moral. Ini memang merepotkan. Karena perdebatan akan masuk pada moral siapa atau moral yang mana. Akan tetapi, bukan berarti tidak bisa.
Mari kita menguji seseorang, kebetulan dia mantan lurah sebuah kampung, lebih dari 25 tahun yang lalu. Mantan lurah itu sudah meninggal. Belakangan ada segelitir orang, terutama kerabat dekat mantan lurah, agar Pak Lurah yang legendaris itu, karena berpuluh tahun jadi lurah, diangkat sebagai pahlawan oleh kelurahan.
Padahal, mantan lurah itu dijatuhkan karena masyarakat sekelurahan demonstrasi. Masyarakat muak melihat lurah melakukan korupsi yang semakin membabi buta. Bahkan, tercatat dalam sejarah, lurah pernah memukul beberapa warganya yang berani melawannya.
Catatan lain, sang lurah pernah terlibat perang santet dengan beberapa lawan politiknya dan mengambil banyak korban. Sang Lurah pernah memerintahkan anak buahnya agar menangkap beberapa warga. Walaupun warga itu akhirnya dilepaskan, tetapi sempat dipukuli dan disiksa.
Bahwa sang lurah pernah membangun kelurahan tentu saja kenyataan yang tidak bisa ditolak. Akan tetapi, siapa pun yang menjadi lurah, pasti akan melakukan hal yang sama. Artinya, proses pembangunan bukanlah hal istiwewa.
Namun, dalam berbagai cara, sang lurah memang sudah invest ke anak dan kerabat yang lain, yang kini sebagian menjadi penguasa kelurahan. Merekalah yang ingin menjadikan mantan lurah tersebut dijadikan pahlawan.
Kalau melihat peristiwa dan kronologinya, bahwa sang lurah dijatuhkan oleh demonstrasi dan memakan korban besar, ujian tentang moral orang per orang tidak perlu dilakukan. Sejarah telah dicatat bahwa moral peristiwa demontrasi tersebut mengatakan sang lurah telah gagal menjadi pemimpin.
Hebatnya, karena banyak kerabat sang lurah menjadi penguasa, begitu banyak fiksionalisasi sejarah baru bermunculan. Kini mantan sang lurah tersebut telah dinobatkan menjadi pahlawan bagi kampungnya.



















