Tidak semua ruang dalam praktik kehidupan perlu demokrasi. Karena, jika di setiap ruang diterapkan demokrasi, maka tujuan kehidupan dari ruang tersebut tidak jalan. Dalam hal ini, demokrasi adalah hadirnya pengakuan kesederajatan subjek-kemanusiaan, pengakuan kesetaraan hak dan kewajiban, dan pengakuan kesetaraan pikiran dan pendapat.
Dengan demikian, perlu identifikasi perbedaan karakter ruang, mana yang sebaiknya harus demokratis dan mana yang tidak perlu demokrasi. Perlu dipahami, keberadaan ruang juga berlapis dan memiliki posisinya masing-masing dalam skala yang berbeda. Hal ini menentukan bagaimana prinsip kesetaraan tidak berlaku dalam ruang-ruang tertentu tersebut.
Dalam “ruang-ruang organisasional” seperti partai politik, perusahaan bisnis, militer dan polisi, kantor-kantor pemerintahan, dan sekarakter dengan “ruang organisasional” tersebut, tidak diperlukan demokrasi.
Jadi, kalau Anda masuk dan hidup dalam ruang tersebut, jangan menuntut demokrasi. Sebagai ilustrasi, kita tidak bisa menuntut Megawati, SBY, Prabowo, harus demokratis dalam ruang partainya. Para prajurit tidak perlu menuntut para jenderal untuk bisa demokratis. Jangan menutut para bos besar perusahaan untuk demokratis. Kalau demokrasi diterapkan, tujuan organisasionalnya bisa tidak jalan.
Dalam ruang yang terstruktur dalam hierarki kekuasaan tersebut, para pemimpin tidak perlu mempertimbangkan demokrasi. Gagal dan berhasilnya ruang organisasional tersebut bergantung para pemimpinnya. Bahkan, untuk memilih para pemimpin dalam ruang organisasional tersebut secara demokratis juga sulit. Sekali lagi, kekuasaan tidak membutuhkan demokrasi.
Dalam ruang-ruang privat, sebenarnya juga tidak diperlukan demokrasi. Keberadaan privat memang bukan sesuatu yang perlu didemokrasikan. Hal tersebut terkait dengan hak dan kewajiban seseorang, atau yang menjadi tanggung jawab privatnya, untuk mengambil keputusan, bertingkah laku, sesuai dengan tuntutan privatnya masing-masing. Tidak ada yang boleh mengintervensi ruang privat.
Masalahnya, adakah ruang-ruang yang perlu dan wajib demokratis? Ruang bermasyarakat dan bernegara adalah ruang publik. Dalam ruang publik tersebut, apa pun dan siapa pun kedudukannya sama. Bahkan, pemerintah hanya dalam posisi memfasilitasi terjadinya demokrasi. Pemerintah harus memfasilitasi, bahkan hingga fasilitasi fisik, agar demokrasi dapat dan harus berlangsung.
Kualifikasi dan kategori pembedaan seperti itu yang tidak banyak dipahami. Pemerintah berpikir dan bersikap bahwa, di berbagai ruang, pemerintahlah yang berkuasa. Memang, pemerintah berhak mengatur, tetapi aturan yang dibangun pemerintah terkait dengan keharusan terjadinya demokrasi.
Para pemimpin partai, para jenderal, para pemimpin perusahaan, boleh tidak demokratis di ruang internalnya. Akan tetapi, di ruang publik bermasyarakat dan bernegara, para pemimpin tadi adalah semasa warga, sesama manusia. Pemerintah yang berkuasa harus bisa memastikan dan memfasilitasi agar demokrasi bisa jalan di ruang publik tersebut.
Presiden dalam jajaran barisan kekuasaannya, boleh tidak demokratis. Akan tetapi, sebagai presiden di ruang publik dia harus menjadi fasilitator terjadinya demokrasi. Demikian pula halnya menteri, gubernur, bupati, dan seterusnya. Hanya berkuasa dan hierarkis dalam berisan kekuasannya. Tapi, di ruang tunggu, di pasar, seorang bupati tidak lebih tinggi kedudukannya dibanding seorang warga.
Masalah lain, banyak ideologi adalah instrumen kekuasaan. Kapitalisme, misalnya, tidak bisa sepaham dan sejalan dengan prinsip demokrasi. Kapitalisme membangun struktur kelas. Kapitalisme akan memfasilitasi struktur kelas yang hierarkis itu dengan cara berbeda. Padahal, kapitalisme merupakan ideologi yang dominan.
Masyarakat sendiri juga punya pemahaman, ideologi, dan keyakinan yang berbeda. Karena tidak sama, dan karena pemahaman demokrasi tidak merata, demokrasi sering tidak jalan di ruang-ruang publik. Cukup banyak masyarakat bermental penghamba.
Bahkan yang paling kacau adalah masyarakat tidak paham mana ruang publik dan mana ruang privat. Kekacauan identifikasi tersebut mengacaukan praktik demokrasi. Ketidakmampuan itu menjadi lebih parah ketika hal privat mengintervensi ruang publik, atau sebaliknya.
Situasi lain, para penguasa sering lupa bahwa ketika mereka tidak di ruang internal atau privatisasi kekuasaannya, bawaannya sebagai penguasa sering mengintervensi ruang publik bermasyarakat dan bernegara. Alhasil, praktik demokrasi tidak bisa berlangsung dan hanya akan selalu menjadi harapan. @
Aprinus Salam, Guru Besar FIB UGM




















