WARTA.IN, JAKARTA || Tak terasa 24 tahun berlalu kenangan kenangan teringat kembali disaat kita bersama menguji waktu dengan pendidikan dan masa-masa ketawa, gembira, sedih, bertengkar, diskusi hingga bertindak sebagai pelaku perubahan.saat itu hari demi hari berlalu kita belajar dikampus tercinta kita. Pelajaran demi pelajaran kita lalui, sks demi sks kita lalui kadang kita bosan melakukannya yang mana hanya sebuah teori semata tanpa tindakan semata .
Tri Dharma Perguruan Tinggi terakhir adalah pengabdian kepada masyarakat, yakni dengan terjun langsung ke lapangan untuk membantu masyarakat tertentu dalam beberapa aktivitas yaitu bisa merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri dari situ kita melihat kesulitan dan beban rakyat kebanyakan. Dulu saat itu kita belum merasakan kemajuan teknologi seperti yang sekarang kaum milenial rasakan. Saat itu mahasiswa – mahasiswa yang tidak apatis merasakan pahitnya dan kekejaman orba dari membaca buku buku dan terjun langsung untuk mengetahui merasakan apa yang menjadi kesulitan rakyat saat itu.
Kesewenang wenangan pada zaman itu yang bisa kita sebut sebagai “kapitalisme kroni ” Ledakan yang terjadi di Indonesia bukanlah sesuatu tanpa asal. Hal itu bahkan bukan merupakan akibat kolaps ekonomi yang baru terjadi di Asia, meskipun krisis Asia tak dapat disangkal telah menjadi katalis yang kuat. Apa yang terjadi di Indonesia merupakan akumulasi dari kontradiksi yang tak terpecahkan selama puluhan tahun. Seperti semua macan ekonomi lain, Indonesia dijadikan contoh cemerlang dari apa yang dapat dicapai oleh kapitalisme terhadap negara yang dulunya terbelakang.
Pada kenyataan sesungguhnya, penanaman modal asing dalam jumlah besar tidak memecahkan satupun masalah fundamental dalam masyarakat Indonesia, tetapi malah memperparahnya. Apa yang telah dilakukan modal asing sebenarnya malah memperkuat kelas menengah, yaitu kelas pekerja, satu-satunya kekuatan yang benar-benar dapat menunjukkan jalan keluar dari kebuntuan dan membawa sebuah transformasi masyarakat yang progresif dan menyeluruh.
Sama halnya dengan seluruh kaum borjuis di negara-negara bekas jajahan, kaum borjuis Indonesia pada intinya curang dan korup. Golongan ini telah memperlihatkan ketidakmampuannya untuk mentransformasikan masyarakat Indonesia berdasarkan garis progresif. Setelah setengah abad dari apa yang dinamakan kemerdekaan, kaum ini tidak memecahkan satu pun problem dasar, problem agraria, problem nasional, modernisasi, demokrasi, bahkan kemerdekaan sejati tidak tercapai.
Kaum borjuis Indonesia terlambat menapaki tahapan sejarah untuk memainkan sebuah peranan progresif. Lemah dan memburuk keadaannya, mereka hanya dapat memainkan peran pesuruh lokal bagi imperialisme asing. Perwujudan paling jelas dari hal ini adalah perampasan kekayaan negara oleh keluarga Soeharto dan antek-anteknya, yang memiliki dan mengatur sebagian terbesar perekonomian. Dengan demikian, dalam kondisinya yang berkelimpahan sumber daya alam, negara terpadat keempat populasinya di dunia ini telah direduksi untuk mengemis dan bergantung secara memalukan kepada belas kasihan IMF. Inilah hasil akhir dari setengah abad “kemerdekaan” kaum borjuis di Indonesia.
Selama 32 tahun keluarga Soeharto telah memerintah Indonesia seperti sebuah dinasti kerajaan atau, lebih tepatnya, seperti para bangsawan maling. Mereka memiliki bagian terbaik dari ekonomi yang mereka jarah tanpa kendali, memberi sebuah arti yang seluruhnya baru terhadap ungkapan “Keep it in the family”. Presiden Soeharto dan keenam anaknya mempunyai jaringan kekayaan yang besarnya diperkirakan mencapai 40 milyar dollar Amerika, sama dengan setengah GNP Indonesia. Pengaruh mereka mencakup hampir semua aspek kehidupan di Indonesia: mereka mengontrol aset minyak dan listrik untuk pesawat terbang, mobil, jalan tol, dan media massa.
Sigit Harjojudanto, putra tertua Soeharto, bersama Bambang memiliki sebagian besar sektor petrokimia. Bambang Trihatmojo, putra ketiga, mengontrol bank Andromeda (25 persen saham), memiliki kelompok PT Bimantara Citra yang mengatur stok pasar Jakarta, dan di waktu senggangnya mejadi bendahara Golkar, “partai” yang berkuasa. Dia juga memiliki saham di bidang perkapalan di Osprey Maritime dan memilki andil 75 persen saham lahan petrokimia Chandra Asri. Si Bobrok Hutomo (Tommy) Mandala Putra memiliki Bank Utama secara join dengan Siti Hutami, menjalankan proyek mobil nasional Timor dan PT Timor Putra Nasional. Dia juga membangun serta mengontrol Grup Humpuss, dan juga PT Humpuss Intermoda Transportasi.
Tambah lagi dia menjalankan perusahaan yang memonopoli cengkeh (sekarang sudah dibubarkan), dan memiliki kompanion Goro. Cukuplah ini dulu bagi para anak lelaki Soeharto. Namun demikian, para anak perempuannya pun tidak terlalu bertindak jelek. Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), putri pertama presiden, mengontrol PT Citra Marga Nusaphala Persada yang mengoperasikan jalan tol, memiliki bank Yama, ketua komisi Golkar, sekaligus Menteri Sosial. Tutut membangun Grup Citra Lamtoro Gung dan bersama Sigit ia mempunyai andil atas 30 persen saham Bank Central Asia. Siti Hediati Harijadi Prabowo, puteri tengah memiliki 8 persen saham Bank Industri. Puteri bungsu, Siti Hutami Endang Adiningsih, hanya pemilik join dari Bank Utama, bersama Hutomo.
Inilah “kapitalisme kroni” dalam skala besar, di mana seluruh kekayaan yang amat besar dan potensial dari negara secara sistematis dicukur oleh klik Soeharto dan imperialisme asing. Kemarahan dan ketidakpuasan terhadap situasi negara yang begini perlahan bergolak menjangkiti semua kelas, tidak hanya pada kelas pekerja dan buruh tani, tetapi juga pada sejumlah besar kaum borjuis kecil dan para mahasiswa, menciptakan situasi yang secara potensial bersifat eksplosif. Untuk beberapa waktu lamanya hal ini ditutupi topeng pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan prospek yang lebih baik.
Tetapi krisis di Asia secara cepat sekali mereduksi mimpi-mimpi ini menjadi abu. Dalam waktu semalam ekonomi Indonesia jatuh ke dalam krisis. Rupiah jatuh hingga angka 16.000 per satu dolar. Bangkrutnya ekonomi secara cepat menjadi dasar kebangkrutan rezim.
Memandang itu semua kita sebagai mahasiswa dan sebagai wujud pengabdian terhadap masyarakat bergerak melakukan aksi demonstrasi turun kejalan. Namun aksi aksi yang dilakukan mahasiswa saat itu di balas dengan penembakan, penculikan dan pembunuhan terhadap para kawan -kawan aktivis mahasiswa yang hingga sampai kini keadilan masih mencari jalannya sendiri dan belum tercapai sampai saat ini. Hari ini 13 november mengingatkan kita kepada tragedi semanggi 1 yaitu 13 november 1998 dimana terjadi penembakan dan pembunuhan terhadap mahasiwa dan rakyat yang ingin melakukan perubahan saat itu. Kita tidak akan pernah melupakan akan tragedi berdarah yang terjadi pada zaman orde baru.
“Jangan pernah melupakan kekejaman Orba dan jangan biarkan orba berkuasa kembali. Seret tindak tegas proses hukum para pelanggar HAM semasa Orba”
Sudah selayaknya Presiden Jokowi memberikan gelar pahlawan terhadap kawan kawan mahasiswa kita pada korban tragedi trisakti, semanggi 1 dan 2.
“Justice Never Die”
Penulis :
RUSCAIN “GOBANG”
Mantan aktivis 98 – Barikade 98