Warta.in — Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai salah satu etnis di Indonesia yang memiliki sistem adat yang sangat kuat dan khas. Salah satu falsafah hidup utama yang dipegang adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Filosofi ini menandakan bahwa adat Minangkabau harus sesuai dan berjalan seiring dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.
Falsafah tersebut bukan hanya menjadi slogan, namun membentuk fondasi dalam hampir seluruh aspek kehidupan, mulai dari pernikahan, warisan, pengangkatan penghulu, hingga pengambilan keputusan dalam musyawarah adat. Dalam praktiknya, adat dan agama tidak dipertentangkan, melainkan saling melengkapi.
Contoh Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Perkawinan dilakukan dengan mengikuti prosesi adat seperti maminang dan batimbang tando, namun akad nikah tetap wajib memenuhi syarat sah menurut Islam.
Warisan dibedakan menjadi dua: pusako tinggi (warisan adat) dan pusako randah (warisan pribadi), di mana pusako randah dibagi sesuai hukum Islam.
Pemilihan Penghulu mempertimbangkan garis keturunan dan juga pengetahuan agama seseorang.
Musyawarah Adat melibatkan ulama jika keputusan menyangkut hukum agama.
Pemakaman tetap mengutamakan fardu kifayah sesuai ajaran Islam namun diiringi dengan penghormatan adat.
Dalam tatanan waris, masyarakat Minang mengenal dua jenis harta warisan:
Pusako Tinggi
Merupakan harta warisan adat yang berasal dari nenek moyang dan diwariskan secara matrilineal melalui garis ibu. Harta ini bersifat komunal, tidak bisa dijual, dan dikelola oleh kaum.
Pusako Randah
Adalah harta pribadi yang diperoleh dari hasil usaha atau warisan orang tua (ayah dan ibu) yang pembagiannya mengikuti hukum waris Islam. Harta ini bersifat pribadi dan dapat diwariskan ke anak-anak.
Perbedaan utama keduanya terletak pada sifat kepemilikan dan aturan pewarisan. Pusako tinggi ditujukan untuk kepentingan bersama kaum dan kelangsungan adat, sedangkan pusako randah lebih kepada kepemilikan individu.
Warisan Nenek Moyang dan Batas Generasi
Secara umum, istilah “warisan nenek moyang” mengacu pada segala sesuatu yang diwariskan oleh leluhur, baik berupa harta, nilai, adat, maupun ilmu. Tidak ada batas generasi yang kaku. Dalam konteks budaya, warisan ini bisa berasal dari 3 hingga 7 generasi ke atas atau lebih, selama silsilah tak terputus dan diwariskan turun-temurun.
Untuk memperjelas struktur pewarisan dan silsilah, Warta.in juga menghadirkan infografis yang menjelaskan secara visual hubungan antar generasi hingga ke-7 dan bagaimana warisan adat maupun pribadi diturunkan.
Menjaga Keseimbangan
Falsafah “Adat Basandi Syarak” telah membentuk landasan kuat bagi masyarakat Minangkabau dalam menata kehidupan sosial dan spiritual. Namun tantangan modernisasi menuntut generasi muda untuk tidak hanya memahami adat sebagai simbol budaya, tetapi juga sebagai sistem nilai yang hidup dan kontekstual.
Oleh karena itu, penguatan pendidikan adat sejak dini menuntut upaya kolektif yang berkelanjutan, termasuk pemahaman tentang struktur pusako, peran ninik mamak, serta nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. Digitalisasi dokumen adat, pembuatan silsilah keluarga secara daring, serta penyusunan jurnal warisan keluarga menjadi langkah strategis untuk menjaga kesinambungan identitas Minangkabau.
Dengan demikian, warisan adat dan leluhur bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi menjadi pijakan kokoh dalam membentuk masa depan yang berakar kuat pada budaya dan agama.