INDONESIAN JOURNALIST WRITE THE TRUTH

33.5 C
Jakarta
Sabtu, April 20, 2024

Di Abad Penghabisan Nasib Pengrajin Bata Merah dan Genteng Digeser Genteng Metal Dan Bata Ringan

Sukabumi, Warta.in || Sudah jatuh tertimpa tangga pula, seperti itulah nasib para pengrajin genteng dan bata merah di kawasan Desa Gunungguruh Kabupaten Sukabumi.

Nasib mereka tergilas jaman dengan hadirnya industrialisasi bahan bangunan yaitu bata ringan atau hebel dan genteng baja ringan.

Masih dalam kondisi mengap mengap untuk mepertahankan penopang hidupnya, sumber periuknya mereka juga terimbas badai pandemi Covid- 19.

Penulusuran Warta.in di kawasan itu terdapat dua kedusunan mayoritas penduduknya sebagai pengrajin bata merah dan genteng. Usaha ini digelutinya turun temurun sejak jaman penjajahan Belanda.

Gempuran industrialisasi bahan bangunan dan pandemi Covid – 19 separoh pengusaha tanah liat di sana gulung tikar.

Kendala lainya adalah masalah sulitnya tenaga kerja. Generasi yang katanya milenial hari ini mereka memilih jadi buruh pabrik pabrik di kawasan tersebut.

Deni Kurniawan salah seorang pengrajin bata merah yang masih Istiqomah mengeluti usaha peninggalan nenek moyangnya, kendati dalam kondisi tertatih – tatih.

Sambil menemani ngopi di pabriknya berlokasi di Kp. Cimenteng Rw 007 Desa Gunungguruh Kec. Gunungguruh Kab. Sukabumi, Deni merasakan kesulitan ekonomi semenjak pandemi Covid 19. Belum lagi hantaman peralihan pengunaan bahan bangunan.

“Produksi bata dan genteng di sini menurun drastis hingga mencapai 50 persen. Tentu begitupun omset kami menurun. Sedang kebutuhan hidup terus naik,” keluh Deni.

“Konsumen bata merah beralih ke bata hebel dan genteng diganti dengan genteng metal atau spandek. Itu ancaman dan saingan kita,” lanjut Deni yang keningnya memancarkan cemas menatap masa depan usahanya.

Deni mengungkapkan hantaman lainya yang tak kalah mengerikan, yaitu badai pandemi Covid 19. Selama dua tahun usahanya mati suri.

Sebelum pandemi penghasilan Deni mencapai sekitar 150 juta menyusut hingga 50 juta.

“Dulu lebih dari cukup untuk makan dan bayar cicilan tapi saat ini hanya cukup untuk makan saja,” ujar Deni.

Sebelum pandemi dan migrasi ke hebel dan genteng metal, Deni mempekerjakan sebanyak 70 karyawan. Kali ini hanya sebayak 20 karyawan yang tersisa. Sedangkan sebagain besar generasi muda saat ini lebih memilih jadi buruh pabrik.

Ketika ditelisik lebih dalam terkait upaya dan bantuan dari Pemda, ironis sebagain besar pengrajin ditempatnya tak pernah tersentuh bantuan.

“Disini kami mandiri, mesin beli sendiri tanpa bantuan pemerintah. Dulu pernah ada bentuknya cuma pelatihan ke Jatiwangi,” ungkap Deni.

Dalam kondisi seperti ini Deni dan pengrajin lainya berharap pemerintah turun tangan mengucurkan bantuan berupa peralatan produksi dan pemasaran.

“Pengunaan prodak lokal jangan hanya sebatas selogan. Beli prodak kami untuk membangun kantor kantor dan bangunan lainya milik Pemda. Itu saja sudah luar biasa,” ujarnya. (Budi Darmawan)

Latest news
Related news