INDONESIAN JOURNALIST WRITE THE TRUTH

26.5 C
Jakarta
Kamis, April 25, 2024

Dua Jendral Polisi Diancam Hukum Mati, Sejarah di Era Jokowi

Editorial oleh : Budi Darmawan

JAKARTA, Warta.in || Mungkin kah dua jendral Polisi di republik ini divonis hukuman mati? Pertama kasus pembunuhan berencana yang melibatkan Mantan Kadiv Propam Irjen Fredy Sambo. Kedua Kasus penjualan narkotika yang menyeret Mantan Kapolda Sumbar Kapolda Irjen Teddy Minahasa Putra.

Sambo menjalani sidang pertama hari ini, Senin 17/10/2022 di Pngadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sambo dkk didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Pasal 340 terkait pidana pembunuhan berencana dengan ancaman pidana hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.

Sementara Irjen Teddy Minahasa
disangka Pasal 114 Ayat 2 subsider Pasal 112 Ayat 2, juncto Pasal 132 Ayat 1, juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati dan hukuman minimal 20 tahun.

Penegakan hukum di negeri ini sedang di uji timbangannya. Pasalnya dua kasus hukum yang melibatkan penegak hukum ini menjadi sorotan publik.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo memanggil seluruh Pejabat tinggi Polri, Kapolda, Kapolwil hingga seluruh Kapolres, ke istana Jumat lalu.

Presiden nampaknya kesal atas kejadian pelanggaran hukum berat di Institusi Polri tersebut.

Bisa jadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum polisi terjadi karena tuntutan gaya hidup mewah atau hedon. Sehingga segala cara dilakukan untuk meraih kekayaan. Bahkan mungkin untuk menebus bintang yang tidak mustahil butuh banyak uang.

Salah satu arahan Presiden Jokowi kepada segenap jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: hati-hati dengan gaya hidup. Dalam situasi sulit, ini dapat menimbulkan letupan sosial.

Arahan Presiden ini cukup beralasan mengindikasikan terjadinya budaya hedon oknum pejabat di institusi itu.

Berbagai tanggapan mengenai berbagai kasus di institusi polisi ini menghiasi platform media sosial. Tanggapannya pedas pedas.

Kesimpulan pendapat publik, penyakitnya adalah transaksional mulai dari seleksi masuk pendidikan, bintara, taruna Akpol, penempatan jabatan, Stukpa, hingga menebus bintang. Semua dengan uang demi mendapat uang.

Pendapat umum kerap muncul menyarankan anak untuk masuk polisi agar gampang cari uang.

Sogok menyogok masuk polisi sudah menjadi opini publik. Terlebih banyak lahir bintang dari bintang. Pendapat sinis mengatakan, “Jangan harap meraih bintang cuma dari karir cemerlang tanpa uang,”.

Pendapat lain menyebutkan, semua lembaga pendidikan pemerintah termasuk pendidikan Polri dibiayai oleh negara yang sumbernya dari pajak rakyat.

Jika masalahnya adalah generasi culas diawali seleksi curang dengan main uang, benahi diri sejak kini.

Jangan buat lembaga pendidikan yang hanya melahirkan telor telor busuk. Saatnya berbenah diri demi citra diri institusi.

“Bekerja di gugus depan, polisi adalah aparat penegak hukum yang paling dekat dengan masyarakat. Respons dan pelayanan polisi di lapangan menentukan adanya rasa aman dan nyaman di masyarakat,” itulah pesan Jokowi dihadapan ratusan perwira Polri di Istana Jumat lalu.

Latest news
Related news