29.8 C
Jakarta
Selasa, Juli 8, 2025

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Dugaan “Budget Rushing” dan Tantangan Akuntabilitas Fiskal Sekretariat Daerah Provinsi Papua Barat

Warta In | Jakarta, 2 Juli 2025 – Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Papua Barat tengah menjadi sorotan tajam menyusul laporan dugaan penyalahgunaan anggaran Belanja Makanan dan Minuman (Mamin) Tahun Anggaran (TA) 2023.

Lembaga Pemantau Integritas Aparatur Sipil Negara (LPI-ASN) telah mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menindaklanjuti laporan mereka yang mengindikasikan potensi kerugian negara lebih dari Rp11,3 miliar.

Angka fantastis ini menuntut perhatian serius dari aparat penegak hukum dan memunculkan pertanyaan besar mengenai tata kelola keuangan daerah.

Lonjakan Belanja Mamin di Penghujung Tahun: Indikasi Anomali Fiskal

Analisis data sampling menunjukkan adanya lonjakan drastis dalam belanja mamin di Setda Papua Barat menjelang akhir tahun anggaran 2023, sebuah pola yang sangat mencurigakan. Pada Oktober 2023, realisasi belanja mamin tercatat Rp2,4 miliar. Namun, angka ini melonjak tajam menjadi Rp8,3 miliar pada November, meningkat hampir 250%. Tren kenaikan ini berlanjut hingga Desember, dengan realisasi belanja mencapai Rp7,7 miliar.

Secara kumulatif, total belanja mamin hanya dalam dua bulan terakhir tahun anggaran (November–Desember) mencapai sekitar Rp16 miliar. Jumlah ini sangat mencengangkan, karena setara dengan lebih dari 33% dari total nilai sampel belanja mamin sekitar Rp 47,2 miliar tahun 2023.

Konsentrasi anggaran yang begitu besar dalam rentang waktu yang sangat singkat—diperkirakan hanya sekitar 11 hari kerja efektif antara 15 November hingga 20 Desember—adalah indikator kuat adanya pola belanja yang tidak wajar dan berpotensi anomali.

Pola pengeluaran yang ideal seharusnya tersebar lebih merata sepanjang tahun anggaran, sejalan dengan kebutuhan operasional yang berkelanjutan.

Menurut LPI-ASN, lonjakan ini diperkuat oleh bukti awal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI yang menunjukkan indikasi penyalahgunaan dana, termasuk penggunaan bukti fiktif dan pengalihan anggaran untuk ‘kebutuhan lain’ tanpa dasar yang sah.

Pola Transaksi yang Mengundang Pertanyaan dan Dugaan Korupsi

Pemeriksaan lebih lanjut terhadap tanggal transaksi memperkuat dugaan adanya praktik yang tidak efisien dan berpotensi koruptif.

Pada November, transaksi belanja besar terjadi berturut-turut pada tanggal 15, 20 (dua kali), 21, 24, dan 30, dengan nominal setiap transaksi berkisar antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar.
Pada Desember, polanya bahkan lebih mencolok. Pada tanggal 8 Desember, tercatat tiga transaksi sekaligus dengan total nilai melebihi Rp5 miliar dalam satu hari. Lonjakan ini kemudian diikuti oleh transaksi besar lainnya pada tanggal 18 dan 20 Desember. Pola pengumpulan transaksi dalam waktu yang sangat sempit, dengan nominal yang tidak proporsional dibandingkan kebutuhan operasional normal, merupakan ‘lampu merah’ yang jelas dalam tata kelola keuangan.

Modus operandi ini, yang diduga melibatkan pejabat Setda Papua Barat seperti Sekretaris Daerah selaku Kuasa Pengguna Anggaran, Kepala Bagian Keuangan selaku PPK, dan Bendahara Pengeluaran, secara terang-terangan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

LPI-ASN menyebutkan bahwa modus ini mirip dengan kasus yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat di kantor Setda Kabupaten Sorong.

Indikasi “Budget Rushing” dan Implikasinya Terhadap Keuangan Negara

Konsentrasi belanja mamin yang sedemikian masif di penghujung tahun anggaran mengindikasikan kuat adanya praktik “budget rushing” atau penghabisan anggaran. Praktik ini umumnya terjadi ketika ada tekanan untuk menyerap sisa anggaran di akhir periode fiskal, seringkali tanpa perencanaan matang, demi menghindari pemotongan anggaran di tahun berikutnya atau untuk menunjukkan penyerapan anggaran yang tinggi.

“Budget rushing” memiliki beberapa implikasi serius yang merugikan keuangan negara:

1. Inefisiensi Alokasi Anggaran: Dana dibelanjakan tanpa perencanaan optimal, seringkali mengorbankan kualitas atau urgensi, hanya untuk tujuan penyerapan semata.

2. Peningkatan Risiko Penyalahgunaan Anggaran: Proses pengadaan cenderung dipercepat, mengurangi transparansi dan membuka celah untuk potensi mark-up harga satuan, pengadaan fiktif, atau kolusi dengan pihak ketiga. Dugaan penggunaan bukti fiktif dan pengalihan anggaran yang disampaikan LPI-ASN adalah manifestasi dari risiko ini.

3. Ketidaksesuaian dengan Kebutuhan Riil: Kegiatan atau pengadaan mungkin dipaksakan atau diciptakan, bukan berdasarkan kebutuhan operasional yang autentik, melainkan semata-mata untuk menghabiskan sisa dana.

4. Pelanggaran Prosedur Pengadaan: Waktu yang sempit dapat menyebabkan pengabaian prosedur pengadaan yang seharusnya ketat, seperti verifikasi kebutuhan yang mendalam, survei harga, atau perbandingan penawaran yang optimal.

Publik Menuntut Tindak Lanjut Hukum

Pola belanja mamin yang menunjukkan konsentrasi nilai begitu besar dalam waktu sangat singkat di penghujung tahun anggaran 2023 di Sekretariat Daerah Papua Barat adalah anomali fiskal yang memerlukan penelusuran lebih lanjut, terutama dengan adanya dugaan korupsi yang dilaporkan LPI-ASN. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tidak hanya dari sisi perencanaan dan efektivitas, tetapi juga dari sisi akuntabilitas keuangan negara, dan berpotensi mengarah pada praktik penyalahgunaan anggaran secara sistemik.

EP Diansyah, Koordinator LPI-ASN, secara tegas menyatakan, “Ketika Kejati sudah bergerak di Sorong, mengapa kasus serupa pada TA yang sama, dengan nilai yang tidak kalah fantastis di tingkat provinsi, justru seperti jalan di tempat?” Desakan ini menggarisbawahi pentingnya keseriusan penegak hukum di tingkat pusat.

Untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, serta menindaklanjuti dugaan pelanggaran hukum, Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Kejaksaan Agung perlu mengambil langkah-langkah konkret. Penyelidikan harus proaktif, transparan, dan tanpa pandang bulu, fokus pada bukti-bukti dugaan penyalahgunaan dana, penggunaan bukti fiktif, dan pengalihan anggaran tanpa dasar sah, sebagaimana diindikasikan oleh LHP BPK RI dan laporan LPI-ASN.

Pentingnya disiplin anggaran dan kesadaran akan dampak negatif dari budget rushing harus ditegakkan. Jika ditemukan pelanggaran atau penyalahgunaan, perlu adanya penegakan sanksi yang jelas dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sanksi administratif dan hukum, untuk memberikan efek jera.

LPI-ASN berharap penanganan kasus ini akan mengembalikan kepercayaan publik serta menegaskan komitmen penegak hukum dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel di Papua Barat. Tanpa tindakan korektif yang cepat dan tegas, pola belanja yang tidak sehat ini berisiko terulang di tahun-tahun berikutnya, mengikis kepercayaan publik, dan menghambat pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan di Provinsi Papua Barat.

Transparansi dan akuntabilitas adalah fondasi utama bagi tata kelola pemerintahan yang baik.(*)

Berita Terkait