INDONESIAN JOURNALIST WRITE THE TRUTH

26.3 C
Jakarta
Kamis, Maret 28, 2024

Impor KRL , Pemerintah Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab

 

warta.in

Mataram, Jakarta- PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) terancam tidak dapat mengganti 10 unit rangkaian kereta rel listrik (KRL) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang akan pensiun pada tahun 2023 ini serta 19 unit pada tahun 2024.

Berkaitan dengan itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menolak usulan KCI untuk mengimpor rangkaian kereta bekas dari Jepang. Dan meminta perseroan membeli produk dalam negeri dari PT Industri Kereta Api (INKA).

Hambatan pengadaan tersebut berpotensi menggerus kapasitas angkut KRL Jabodetabek yang saat ini mencapai 1,2 juta penumpang per hari. Sedangkan untuk melayani 1.081 perjalanan per hari, termasuk rute pengumpan, KCI membutuhkan minimal 96 rangkaian kereta. Jika jumlah rangkaian berkurang, pasti mempengaruhi layanan.

“Sekarang saja penumpang sudah berdesakan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sendiri telah meningkatkan target jumlah penumpang KRL Jabodetabek menjadi 2 juta orang per hari. Namun demikian, keinginan ini belum ditunjang oleh jumlah armada yang mencukupi, apalagi usia KRL yang ada saat ini masih banyak yang mencapai usia di atas 50 tahun,” ujar H.Suryadi Jaya Purnama,Anggota Komisi V DPR RI
dari Fraksi PKS Kepada wartawan media ini.

Menurut Suryadi ,Paparan KCI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada tanggal 6 Juli 2022 menyebutkan armada KRL saat ini ada yang dudah mencapai usia 50 – 59 tahun sebanyak 10%, 40 – 49 tahun (13%) dan 30 – 39 tahun (77%).

Untuk itu, tandasnya, selain dibutuhkan penambahan jumlah armada KRL, dibutuhkan juga peremajaan sejumlah rangkaian KRL. Selain mengimpor rangkaian KRL bekas dari Jepang sebanyak 29 unit pada tahun 2023-2024. KCI telah berkomitmen membeli 16 rangkaian KRL baru buatan INKA senilai Rp 4 triliun.

Namun kontrak pengadaan kereta buatan domestik itu baru akan diteken pada bulan Maret 2023 tapi produksinya selesai nanti pada tahun 2025-2026.

Namun demikian upaya KCI untuk melakukan penambahan dan peremajaan ini menemui kendala yaitu berupa dana, waktu dan masalah perizinan.
Dari sisi pendanaan, pengadaan 16 KRL baru dari INKA mencapai Rp 4 triliun, sementara untuk impor 10 KRL eks Jepang hanya membutuhkan biaya Rp 150 miliar. Selain itu waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan KRL baru dari INKA mencapai 34 bulan, sementara untuk impor dari Jepang hanya membutuhkan waktu 12 bulan.

Tambahan lagi, KRL baru buatan INKA harganya 20 kali lebih mahal dari KRL bekas Jepang. Meskipun nantinya dapat digunakan 3 atau 4 kali lebih lama. Daripada KRL eks Jepang yang hanya dapat digunakan selama 10 hingga 15 tahun saja.

Akan tetapi keinginan KCI untuk mengimpor KRL bekas negara Jepang ini juga menemui kendala perizinan, di mana surat permohonan dispensasi yang baru dilayangkan pada September 2022 dalam rangka permohonan persetujuan impor barang modal dalam keadaan tidak baru (BMTB) ini .
Pada bulan Januari 2023 ditolak oleh Kemenperin karena tidak memenuhi syarat minimal. Seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

Kendati demikian KCI mengklaim TKDN dengan total 106 rangkaian KRL Jabodetabek , baik 96 rangkaian aktif maupun cadangannya, sudah menembus 40 persen.

Suryadi menambahkan, Saat tiba di Indonesia nanti komponen kereta eks Jepang dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan penumpang Indonesia. Selain itu, untuk meningkatkan kapasitasnya, kereta tersebut di-upgrade dari kereta SF 8 (Stamformasi 8 atau jumlah kereta dalam satu rangkaian hanya 8 unit) menjadi SF 10 & 12.

Akibat dari penolakan Kemenperin ini, pengadaan rangkaian KRL menjadi terkendala dan diperkirakan sejumlah stasiun KRL Jadodetabek, seperti Stasiun Manggarai, makin terbebani bila rangkaian kereta berkurang. Hal ini disebabkan masa tunggu antarkereta yang berpotensi menjadi semakin lama, sehingga efeknya stasiun dan kereta akan menjadi semakin padat dan semrawut yang dampaknya dapat mengakibatkan penumpukan lebih dari 200 ribu penumpang per hari.

” Ujung-ujungnya, masyarakat yang mengalami kerugian dari kurang sigapnya Pemerintah dalam menanggulangi permasalahan ini. Bahkan, Pemerintah sendiri juga yang akan mengalami kerugian karena KRL berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi untuk mobilisaasi aglomerasi,”
tandasnya.

Bahkan,sambung SJP, Riset Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) tahun 2011 menyebutkan bahwa penambahan rute pelayanan KRL akan menaikkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah sebesar 0,069 persen. Sedangkan penambahan frekuensi lintas menaikkan pertumbuhan ekonomi 0,005 persen.

Menanggapi hal tersebut, FPKS menyesalkan permasalahan ini, dan meminta kepada Pemerintah agar antara KCI dan Kemenperin tidak saling lempar tanggung jawab. Seharusnya, tidak ada ego sektoral, bahkan semua sektor dalam Pemerintah bergerak secara sinergis sebab KRL merupakan moda transportasi terbaik untuk menampung jumlah penumpang yang besar.

” KRL seharusnya menjadi prioritas untuk terus dikembangkan dengan strategi peningkatan produksi dalam negeri dan substitusi impor di bidang perkeretaapian. Hal ini diperlukan sebab pada kenyataannya harga KRL INKA saat ini justru sangat mahal, sehingga berpotensi memicu peningkatan tarif KRL karena nilai investasinya tinggi,” tegasnya.

Selain itu politikus asal pulau lombok  dari  PKS ini juga berpendapat, seharusnya KCI jauh-jauh hari bergerak melengkapi kebutuhan armada , sehingga apabila pemesanan dilakukan secara massif dan terjadwal kemungkinan dapat menurunkan ongkos produksi dan dapat digunakan tepat waktu.

Namun yang saat ini terjadi,lanjutnya, permohonan dispensasi baru dilakukan pada bulan September 2022 untuk menggantikan unit KRL yang dipensiunkan pada tahun 2023.

Sedangkan kontrak dengan INKA juga baru akan diteken pada bulan Maret 2023. Jika pemesanan dilakukan secara dadakan dan parsial atau sedikit-sedikit, tentunya berpotensi meningkatkan biaya produksi dan tidak dapat tepat waktu digunakan pada saat dibutuhkan. Akibatnya terjadilah hal seperti sekarang ini, di mana KRL impor dilarang sedangkan KRL buatan dalam negeri mahal dan lama.

Sebagai solusinya, FPKS berpendapat perlu adanya jalan tengah, misalnya KRL bekas dapat diimpor sementara tetapi dengan harus diiringi dengan peningkatan TKDN melalui proses rekondisi secara lokal agar dapat memenuhi persyaratan BMTB di atas. Pemerintah juga dapat menetapkan sistem kuota KRL bekas, misalnya hanya 25 persen dari kebutuhan dan hanya untuk jangka pendek. Kuota tersebut dapat secara bertahap semakin diturunkan dari tahun ke tahun, sementara kapasitas produksi INKA semakin ditingkatkan. FPKS berpandangan agar Pemerintah jangan membuat kebijakan “hantam kromo” yang berdampak penumpang KRL menjadi telantar.

” Apalagi jika penumpang kemudian terpaksa berganti-ganti moda transportasi ,sehingga akan semakin menambah beban pengeluaran masyarakat,” ujarnya menyudahi.( sr)

Latest news
Related news