29.9 C
Jakarta
Senin, Agustus 4, 2025

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Kenapa Kades Banyak Masuk Bui Karena BUMDes, Faktor Kelima dan Keenam Berbahaya

Warta.in-MUKOMUKO,Bengkulu

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejak awal digagas dan kemudian diregulasikan melalui UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan kemudian diatur secara rigid melalui PP No. 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, digadang-gadang sebagai lembaga bisnis milik desa yang akan menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi desa.

Artinya, ia menjadi satu-satunya lembaga legal “plat merah” tingkat desa yang diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perdesaan dengan memanfaatkan segala potensi dan peluang yang ada di desa sekaligus membangun ekosistem ekonomi yang sehat yang melibatkan masyarakat sebagai mitra dan pemilik manfaat dari keuntungan yang diperoleh BUMDes.

Karena itu, pembentukan BUMDes diatur harus melalui mekanisme musyawarah desa (Musdes), yang artinya keputusan tertinggi ada di tangan masyarakat, bukan pemerintah desa.

Karena UU Desa ini sifatnya mandatory — walaupun klausul pada Bab X Pasal 87 disebutkan: Desa “dapat” mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa, yang artinya bisa mendirikan dan bisa juga tidak, tergantung kebutuhan desa — namun Kementerian Desa melalui Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) “mewajibkan” setiap desa memiliki BUMDes.

Faktanya, tidak semua desa siap. Tapi apalah daya, walaupun punya kewenangan, namun nyatanya desa tak kuasa menolak instruksi lembaga supra desa itu untuk siap tidak siap harus siap mendirikan BUMDes. Alhasil, semua desa pada akhirnya memang memiliki BUMDes, namun dalam perjalanannya terseok-seok dan banyak yang bermasalah.

Di mana sebenarnya letak masalah BUMDes? Atau mungkin pertanyaan tepatnya: mengapa BUMDes bermasalah? Nah, tulisan ini akan mencoba menjawabnya.

Berdasarkan investigasi awakmedia, ada beberapa catatan yang menjadi dasar temuan faktual mengapa menjalankan BUMDes itu tidak mudah dan banyak BUMDes yang bermasalah.

Pertama, pemilihan atau penentuan pengurus BUMDes, tertama direkturnya, tidak melalui rekrutmen profesional, namun melalui musyawarah mufakat (atau melalui penunjukan oleh kepala desa yang disahkan melalui Musdes) yang tentu saja kriteria yang ditetapkan sebagai pemimpin BUMdes disederhanakan menjadi: 1. Merupakan tokoh masyarakat; 2. Mengerti bisnis; 3. Aktif di desa; 4. Tidak berseberangan politik dengan kepala desa; dan 5. Punya kemampuan memimpin.

Ternyata, simplifikasi kriteria ini tidak cukup menjawab kebutuhan profesionalitas pengelolaan BUMDes. Tetapi ini wajar mengingat dalam regulasinya di awal-awal tidak ada gaji bagi pengurus BUMDes, sama seperti lembaga kemasyarakatan desa (LKD) lainnya, sehingga jika melakukan hiring profesional tidak bisa menjanjikan gaji apa-apa. Yang akan didapatkan oleh pengurus adalah bagi hasil keuntungan. Ini tentu saja sudah jadi problem: bagaimana mungkin orang di-hire untuk menjalankan usaha yang orientasinya jelas profit namum tidak dibekali operasional untuk menjalankan organisasinya. Ini bisnis, lho.

Nah, baru melalui PP No. 11 Tahun 2021 aturan mainnya diubah, yakni pengurus BUMDes berhak mendapatkan gaji. Masalahnya, dari mana sumber gaji pengurus pada awal menjalankan BUMDes, sementara mereka masih dalam tahap penataan organisasi dan perencanaan usaha. Siapa yang akan menanggung operasionalnya? Secara regulasi pun jika operasional BUMDes diambilkan dari dana penyertaan modal jelas tidak boleh, karena alokasi penyertaan modal adalah untuk usaha yang mau dijalankan, bukan untuk membiayai manajemen kelembagaan BUMDesnya.

Dari sini, persoalan gaji di awal sudah buntu secara mekanisme birokrasi (walaupun itu bisa diatasi dengan pengaturan tertentu sesuai kesepakatan yang dituangkan di AD ART).

Kedua, BUMDes terjepit di antara dua logika yang tidak bisa bertemu: logika birokrasi dan logika bisnis. Logika birokrasi  menjadikan BUMDes sebagai lembaga yang terikat dengan mekanisme birokrasi seperti laiknya LKD lainnya. Sementara logika bisnis menuntut profesionalisme yang berbasis insentif; siapa melakukan apa mendapat apa.

Nah, tarik menarik antara dua logika ini menyebabkan ruang gerak BUMDes tidak fleksibel dan gesit sebagaimana mestinya sebuah entitas bisnis. Ini sebenarnya bisa diatasi dengan mendobrak kekakuan birokrasi yang tentu saja membutuhkan keberanian kepala desa dan unsur pemerintahan desa lainnya, sehingga logika bisnis harus dikedepankan tanpa mengorbankan rambu-rambu birokrasi (menghindari potensi masalah hukum).

Ketiga, mindset dan mentalitas bisnis yang dimiliki oleh pengurus atau jajaran direksi BUMDes lemah. Bisnis atau usaha itu soal mindset dan mentalitas. Mindset adalah pola pikir dan sikap mental.

Mentalitas adalah kondisi kejiwaan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan. Mindset bisnis itu antara lain: making money (menghasilkan uang), making profit (menghasilkan keuntungan), welfare (kesejahteraan), benefit (manfaat). Nah, karena bisnis BUMDes ini adalah bisnis sosial, maka mindset yang perlu ditambahkan adalah social impact (dampak sosial) dari usaha BUMDes.

Sementara mentalitas yang dibutuhkan sebagai pelaku bisnis adalah berani mengambil risiko, pantang menyerah (persisten), tidak takut gagal, yakin akan keberhasilan, kreatif, inovatif, lincah, dan melihat masalah sebagai tantangan, bukan sebagai halangan.

Keempat, susahnya mencari sumber daya manusia (SDM) yang qualified sebagai pengurus BUMDes.
Tidak semua desa memiliki SDM yang tepat untuk mengurus BUMDes. Apakah di semua desa tidak ada pelaku usaha atau pebisnis sukses yang bisa dijadikan direktur BUMDes? Banyak. Namun faktanya, tidak semua pelaku bisnis yang sudah well experienced dan sukses itu tepat atau mampu mengelola BUMDes.

Investigasi dilapangan banyak ditemukan, ternyata direktur BUMDes yang ada di desa itu basic-nya adalah pebisnis. Tapi ia pebisnis personal yang tidak biasa dengan ketertiban administrasi dan rumitnya birokrasi, sehingga ia tidak bisa apa-apa.

Bahkan dengan sisa kas dari pengurus sebelumnya sebesar 100 juta ia tidak berhasil membuat apapun selama satu tahun. Ia juga tidak bisa mengonsolidasikan anggota pengurusnya. Nah, ini menunjukkan bahwa kemampuan bisnis (individual) saja tidak cukup.

Butuh juga kecakapan memimpin dan mengelola tim. Apakah ia tidak pernah dilatih atau diikutkan BIMTEK pengelolaan BUMDes? Diikutkan lah. Tapi kan tidak bisa mengaplikasikan di organisasinya. Ini hanya salah satu contoh saja dari problem sumber daya manusia. Saya yakin masalah tipologis semacam ini banyak.

Kelima, sesat pikir menyikapi dana BUMDes. Sesat pikir ini kadang tidak hanya menghinggapi pengurus BUMDes, tapi juga kepala desa dan jajaran pemerintahannya.

Sesat pikir ini adalah menganggap uang BUMDes atau dana penyertaan modal BUMDes ini adalah uang mereka (bukan uang negara/pemerintah), sehingga layak dibuat bancakan (rebutan) antar mereka. Sesat pikir ini pula yang menyebabkan terjadinya penyelewengan, penggelapan, dan korupsi yang berakibat fatal, yakni terpuruknya BUMDes dan hancurnya kredibilitas pengurus serta pemerintahan desa. Sudah banyak bukti bisa kita lihat orang-orang yang terjerat hukum akibat kesalahan yang berakar dari sesat pikir anggaran dan pendanaan ini.

Keenam, niat jahat dari oknum pengurus BUMDes atau unsur pemerintahan desa untuk memanfaatkan BUMDes sebagai ATM (automatic teller machine) alias mesin pencetak uang bagi kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini, BUMDes dijadikan kamuflase untuk mengeruk keuntungan pribadi karena memanfaatkan celah pendanaan atau mekanisme pengelolaan uang di luar mekanisme APBDes.

Beberapa penelusur menemui kasus ada desa yang BUMDesnya di-setting memiliki unit usaha perkreditan dengan disuntik modal ratusan juta, setelah itu uang yang sudah dicairkan untuk BUMDes dibagi-bagi antar pengurus dan beberapa oknum pemerintahan dengan justifikasi sebagai peminjam (kreditur) dengan jumlah yang tidak wajar. Setelah itu, uangnya tidak kembali. Alhasil, BUMDesnya rugi dan pada akhirnya jadi temuan hukum.

Itulah beberapa hal yang menggambarkan problematika pengelolaan BUMDes hingga saat ini. Tentu saja ada BUMDes yang berhasil dan tidak bermasalah. Itu karena mereka mengelola BUMDes dengan mindset dan mentalitas yang benar dan jujur. Dan itu persentasenya masih kecil. Mungkin dibawah 20 persen.

Penulis : Gemmi Jupriadi

Berita Terkait