INDONESIAN JOURNALIST WRITE THE TRUTH

32 C
Jakarta
Jumat, April 19, 2024

Logo ‘Halal’ Yang ‘Syubhat”

OLEH: BOBY ES-SYAWAL EL-ISKANDAR

Kabid Litbang Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka Sukabumi

Publik di tanah air kini sedang diramaikan oleh logo baru label Halal Indonesia yang dilauching oleh Menteri Agama Yaqut baru-baru ini. Logo baru tersebut, secara resmi diumumkan oleh pemerintah melalui Menteri Agama sebagai logo resmi Label Halal Indonesia yang baru, menggantikan logo lama. ‘Kegaduhan’ terkait logo baru ini seolah melengkapi masalah yang hingga kini masih terasa mengganjal bagi kalangan MUI yaitu terkait diambil-alihnya kewenangan MUI untuk menerbitkan label halal yang sudah berpuluh tahun menjadi ranah MUI selaku lembaga fatwa.

Beragam komentar muncul menyikapi launching logo baru tersebut. Bila dilihat dari informasi yang beredar di media sosial baik melalui WA, FB, Instagram atau yang lainnya, komentar dari pihak-pihak yang bernada keberatan (kalau tidak mau dikatakan menolak) dengan logo baru tersebut sepertinya lebih banyak ketimbang komentar yang bernada mendukung.

Hemat penulis, yang menjadi titik masalah dari logo baru tersebut adalah pada teks ‘HALAL’ yang ditulis dalam bahasa Arab dengan menggunakan typography jenis khat kufi modern atau kontemporer, sehingga dirasa sulit bahkan tidak bisa dibaca sama sekali oleh kalangan awam yang tidak faham tentang kaidah dan jenis-jenis bentuk tulisan dalam kaligrafi Arab. Sebagaimana kita ketahui, bahwa teks حلال pada logo lama yang dibuat oleh MUI sangat jelas terbaca karena menggunakan jenis khat Naskhi.

Logo Halal Baru versi Ilmu Desain

Dari sisi ilmu desain, sesungguhnya logo halal Indonesia yang baru lebih memenuhi prinsip-prinsip pembuatan desain yang baik bila dibandingkan desain logo halal dari negara lain. Setidaknya ada 5 prinsip-prinsip dalam membuat desain logo yang baik, yaitu; pertama, Simple (sederhana/tidak rumit), kedua, Memorable (mudah diingat), 3. Apropriate (cocok dengan sesuatu yang diwakilinya), 4. Resizeable (ukuran logo bila diperkecil sampai ukuran terkecil masi tampak/jelas terbaca. 5. Timeless (berlaku sepanjang waktu).

Terkait dengan logo halal Indonesia yang baru, bila kita coba cermati dan kaji lebih dalam berdasarkan 5 (lima) prinsip desain logo tersebut, menurut hemat saya sebenarnya ada dua hal yang sebenarnya terasa janggal. Pertama, dari prinsip simple misalnya. Walau pun desain logo halal Indonesia yang baru terlihat sederhana alias tidak rumit, namun dari unsur tingkat keterbacaan khsususnya pada teks Arab حلال justru menyulitkan bagi kalangan awam. Bahkan bagi kalangan yang faham tentang kaligrafi pun terjadi perdebatan pada kaidah penulisan yang menggunakan jenis khat Kufi modern tersebut. Titik perdebatan tersebut terutama terletak pada huruf ‘LAM’ yang lebih menyerupai huruf ‘KAF’, sehingga wajar jika ada yang membaca “HALAKA” dan mengartiaknnya dengan “Kehancuran”. Pendapat ini tentu keliru, karena “Kehancuran” itu menggunakan “HA” besar ( ه ) untuk membedakannya dengan “HA” kecil (ح ). Jadi, bila tertulis “HALAKA” dengan “HA” kecil maka maknanya adalah “gelap gulita, hitam legam” . Namun, yang jelas makna dari kedua kata tersebut (baik- dengan ‘HA’ kecil maupun ‘HA’ besar) sama-sama tidak baik dan tidak nyambung karena tidak sesuai dengan makna yang diinginkan dari lafal ‘HALAL’.

Kedua, dari sisi prinsip apropriate yang dimaknai sebagai sesuatu yang cocok dengan sesuatu yang diwakilinya. Bila prinsip ini kita bedah, maka kecocokan dan keterwakilan memang ada, tapi itu hanya cocok dan mewakili satu etnis budaya tertentu, yaitu Jawa. Ini sangat jelas, bahwa logogram dari logo halal yang baru merujuk kepada bentuk Gunungan Wayang yang dipadu dengan motif Surjan Lurik yang konon diciptakan pertama kali oleh Sunan Kalijaga sebagai manisfestasi pakaian taqwa.

Bila Kepala BPJPH, Aqil Irham mengatakan bahwa label Halal Indonesia secara filosofi mengadaptasi nilai-nilai keindonesiaan yakni dalam bentuk gunungan dan motif surjan, merupakan artefak-artefak budaya yang memiliki ciri khas yang unik, berkarakter kuat dan merepresentasikan Halal Indonesia. Maka sesungguhnya yang terjadi dan difahami masyarakat secara umum tidaklah demikian. Kenapa? Karena publik tahu, bahwa gunungan wayang itu adalah budaya lokal masyarakat Jawa termasuk dengan surjan luriknya.

Padahal untuk Indonesia, pemerintah sendiri telah melaunching dan menggaungkannya dengan istilah Islam Nusantara, yang memberikan pemahaman bahwa Islam itu bukan hanya Jawa. Islam di Indonesia itu adalah dari Sabang sampai Merauke. Jadi yang harus dibangun adalah kearifan nasional, bukan kearifan lokal (Jawa ansich). Maka wajar, bila seorang sahabat saya, Kang Budi Lesmana yang juga ketua Bang Japar Indonesia Presidium Sukabumi Raya mengatakan, bila hal ini tidak diperbaiki, maka itu sama halnya pemerintah membuka ruang konflik asshobiyah (kesukuan) dengan menggunakan symbol budaya tertentu (Jawa) pada label halal yang baru. Sehingga dengan berkelakar ia berkata, “Ulama Sunda, Aceh, Kalimantan, Batak, Papua, Banten dll seantero Indonesia layak marah karena logo halal Kemenag hanya berlaku untuk Islam Jawa”. Saya menimpali, bahwa jika begitu berarti ulama di luar Jawa boleh menggunakan logo yang lama yang lebih universal, karena tidak memunculkan etnis tertentu dan mudah difahami tulisannya.

Logo halal baru menurut Ilmu Kaligrafi

Lalu bagaimana sebetulnya kedudukan teks Arab lafaz ‘HALAL’ pada logo halal baru yang dilaunching oleh Menteri Agama Yaqut tersebut dalam perspektif ahli kaligrafi (khattat)??? Dari sisi typography, jenis tulisan kaligrafi yang masyhur ada 6 (enam) yaitu Naskhi, Tsuluts, Diwani, Kufi, Riq’ah dan Farisi. Jenis Naskhi lebih banyak digunakan untuk kebutuhan penulisan Alquran dan teks-teks buku (terutama buku pelajaran). Jenis Riq’ah lebih banyak digunakan untuk kebutuhan tulisan cepat yang dikalangan wartawan disamakan dengan huruf steno (yang bisa diringkas/disingkat dalam penulisannya). Jenis Tsuluts, Diwani dan Farisi (termasuk Kufi) banyak digunakan untuk kebutuhan estestis berupa dekorasi baik pada kanvas, dinding tembok mapun kubah masjid. Sedangkan jenis Kufi dengan segala variannya, kalo di Timur Tengah biasa digunakan untuk penulisan judul-judul berita di surat kabar dan majalah, termasuk untuk kebutuhan papan iklan/reklame juga logo.

Lalu logo halal baru yang dibuat Kemenag pake jenis khat yang mana? Jenis khat yang digunakan pada logo halal yang baru adalah jenis Kufi modern (untuk membedakannya dengan jenis khat kufi klasik). Lalu apakah penulisan lafaz ‘HALAL’ pada logo tersebut sudah memenuhi kaidah khat Kufi? Secara kaidah, penulisan lafaz ‘HALAL’ tersebut sebenarnya sudah baik, karena secara jelas sudah biasa dibaca oleh kalangan khattat (ahli kaligrafi) sekali pun ada yang berpendapat bahwa huruf ‘LAM’ pada ejaan terakhit kata ‘HALAL’ tersebut lebih menyerupai huruf ‘KAF’ ketimbang ‘LAM’. Jadi secara kaidah sebenarnya sudah benar alias tidak ada masalah.

Masalah baru muncul bila tulisan “HALAL’ teks Arab tersebut dihadapkan kepada masyarakat awam. Kenapa? karena jenis khat Kufi pada logo baru ini masih sulit dibaca oleh publik yang awam tentang jenis-jenis huruf dan kaidahnya. Kalau pun mereka bisa membaca ‘HALAL’, maka sesungguhnya yang mereka baca bukan teks Arabnya, tetapi teks dengan bahasa Indonesia yang memang diterakan dibagian bawah teks Arab. Bahkan saya meyakini, publik secara umum tidak mengetahui kalau teks Arab ‘HALAL’ yang ditulis dengan khat Kufi itu adalah tulisan Arab. Bisa jadi publik menyangka itu hanya sekedar garis-garis yang dibentuk menyerupai gunungan wayang, bukan huruf Arab yang terbaca ‘HALAL’.

Bila dilihat dari sisi kajian ilmu, kaligrafi yang syarat dengan nilai-nilai keindahan dalam segala implikasinya memiliki peranan dan fungsi serta tujuan yang jelas. Sebagi fungsi individual kaligrafi berperan sebagai sarana komunikasi, sumber usaha dan media ekspresi. Sedangkan sebagai fungsi sosial, kaligrafi banyak digunakan untuk penulisan buku-buku pelajaran, mushaf alquran, majalah, Koran dan lain sebagainya.

Dengan demikian, kaligrafi juga berfungsi sebagai medium seni dan sarana peralihan kebudayaan dan peradaban yang memiliki banyak tujuan. Pertama, tujuan Pengajaran (al-Ahdaf at-Ta’limiyyah). Dimana kaligrafi bertujuan untuk menyempurnakan bacaan, sehingga tulisan mudah dibaca. Kedua, tujuan Pendidikan (al-ahdaf at=tarbawiyyah) yang bertujuan untuk membentuk kemahiran tangan, melatih kebersihan, menumbuhkan sifat sabar, tabah, hati-hati dan waspada. Ketiga, tujuan Praktis (al-Ahdaf al-‘Amaliyyah), yaitu agar tulisan menjadi bagus dan mudah dibaca. Memudahkan guru dan pengamat seni untuk memberikan penilaian dan kurasi. Keempat, tujuan Estestis (al-Ahdaf al-Faniyyah). Berbeda dengan tulisan lainnya, kaligrafi Arab memiliki aneka unsur hias yang datang dari dirinya. Sehingga dapat menciptakan harmoni dan ketelatenan dalam kepribadian dan kehidupan karena pantulan keindahannya. Kelima, tujuan Ekonomis (al-ahdaf an-naf’iyyah) dimana kaligrafi bisa dijadikan sumber usaha.

Jadi, bila dikupas berdasarkan prinsip-prinsip desain sebuah logo dan tujuan praktis dan pengajaran kaligrafi, terkesan logo halal baru yang dibuat oleh Kemenag ini ada ketimpangan, yaitu sulit untuk dibaca dan difahami (kecuali oleh mereka yang ahli dalam kaligrafi), tidak simple dan tidak sesuai dengan tujuan pengajaran dan tujuan praktisnya. Menurut saya, sebagaimana juga pendapat KH. Anwar Abbas, pendakwah sekaligus wakil Ketua Umum MUI Pusat, kemenag dalam logo halal yang baru ini lebih mengedepankan unsur estetika atau artistic belaka, tanpa mempertimbangkan unsur tingkat keterbacaannya.

Berdasarkan hal itulah, seyogyanya para desainer logo yang tidak memiliki latar belakang khattat (kaligrafer) ketika bersentuhan dengan typography Arab ada baiknya berkonsultasi dengan para khattat. Terkait hal ini, ada pengalaman pribadi saya saat mengoreksi teks ‘SALMAN’ pada logo Masjid Salman ITB yang sudah digunakan bertahun-tahun yang desainnya dibuat oleh alm. Prof. Achmad Noe’man yang dijuluki “Maestro Arsitek Masjid Indonesia” yang juga “Arsitek Seribu Masjid”. Perlu beberapa bulan bagi pihak Yayasan Salman ITB untuk membahas logo yang saya nyatakan salah dari sisi kaidah kailgrafi. Namun, Alhamdulillah akhirnya pihak Yayasan Salman ITB bisa menerima usulan koreksi yang saya sampaikan, dan akhirnya merubah semua logo lama yang digunakan dibawah Yayasan Salman ITB dengan logo yang baru.

Sebagai saran, ada baiknya pihak pemerintah dalam hal ini Kemenag meninjau ulang logo yang sudah terlanjur dilaunching. Kemudian panggil para pakar dibidang ini untuk duduk bersama mencari solusi terbaik. Bukankah negara ini adalah negara demokrasi, yang seharusnya lebih mengedepankan unsur musyawarah. Alangkah indahnya, sebelum logo itu dilaunching, Menteri Agama menawarkan kepada masyarakat (muslim khususnya) untuk diuji publik, setelah semuanya clear baru dilaunching sebagai sebuah logo baru yang dikuatkan dengan payung hukum. Kalau ini yang terjadi, saya yakin tidak akan ada reaksi yang bernada ‘penolakan’ dari publik. Kenapa? karena publik dilibatkan dalam prosesnya.

Oleh karena itu, bila diminta, saya yakin teman-teman para khattat (kaligrafer) di Indonesia siap untuk memberikan masukan terbaik untuk Indonesia tercinta. Saat tulisan ini dibuat saja, para kaligrafer begitu semangat membahas logo halal dan bahkan ada beberapa di antara mereka yang sudah menshare langsung desain lafaz ‘HALAL’ versi Arab sebagai ‘revisi’ dari logo baru tersebut. Ini sebagai antisipasi kalau pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama membutuhkan masukan para khattat. Tulisan ini adalah pendapat pribadi yang bertujuan untuk memberikan masukan kepada pemerintah, agar label ‘HALAL’ Indonesia tidak menjadi ‘SYUBHAT’ karena tulisan Arabnya tidak jelas terbaca ‘HALAL’. Wallahu a’lam

Sukabumi, 14 Maret 2022

Sudrawih Boby Iskandar, S.Ag.

Lebih dikenal dengan nama Boby es-Syawal el-Iskandar.

Pengurus MUI Kota Sukabumi Bidang Kerukunan Umat Beragama

Sekretaris Forum Pemuda Pelopor Kota Sukabumi

Alamat tinggal: Jl. Bhineka Karya No.28 RT.02/06 Kel. Karamat Kec. Gunung Puyuh 43122 HP. 081563160736. Email: sbiskandar1976@gmail.com

Latest news
Related news