Penulis: Sawqi Saad El Hasan, Dosen Manajemen Bisnis Syariah, STEBIS Bina Mandiri Cileungsi
Pertama kali kami melangkah ke Masjid Al Barkah yang terletak di daerah Kecamtan Setu, Kabupaten Bekasi pada saat melaksankan aktivitas Kuliah Kerja Nyata (KKN) Bersama rekan saya dan mahasiswa, saya tidak menemukan suasana masjid seperti biasanya. Tidak sunyi, tidak formal, tidak beku. Kami menemukan justru kehidupan. Interaksi. Kreativitas. Masjid ini terasa hangat tapi juga dinamis, di mana hal tersebut mengingatkan saya pada sebuah bacaan mengenai konsep masjid zaman Rasul yang menjadi pusat segalanya, bukan hanya tempat ibadsah semata.
Sebagai dosen di jurusan Manajemen Bisnis Syariah, pengalaman ini menyegarkan dan menggugah. Di tengah banyaknya masjid yang masih berkutat pada fungsi ritual saja, Al Barkah tampil berbeda. Masjid ini bukan hanya tempat beribadah, tapi juga simpul kekuatan ekonomi, pusat edukasi dan ruang kolaborasi warga. Hal-hal yang menarik hati saya adalah semua itu dibangun bukan dengan modal besar, tapi dengan visi yang jelas dan niat yang konsisten.
Kami sempat berbincang dengan Ustadzah Destiana Kumala, salah satu penggerak utama di balik model pemberdayaan masjid ini. Ia tidak berbicara soal strategi rumit atau istilah ekonomi yang kompleks. Ia berbicara dengan sederhana tentang lingkungan masjid yang memiliki keberagaman dalam pandangan beragama dan sempat memicu perbedaan pendapat dan bagaimana masjid tersebut kini berjalan dengan implementasi dari berbagai instrumen seperti zakat, infaq, sedekah, waqaf serta hasil jualan kopi
Model pembagian hasil yang diterapkan operasional masjid, beasiswa yatim, pengajian pekanan, kajian tematik yang diisi oleh ustadz-ustadz yang termahsyur, program mengaji untuk anak-anak Sekolah Dasar pada sore hari di hari tertentu, kemudian juga ada program pemberdayaan Wanita melalui kajian Muslimah yang merupakan pengejawantahan prinsip maqashid syariah dalam praktik nyata. Ini adalah manajemen zakat dan sedekah versi generasi baru yang bersifat kolaboratif, transparan dan produktif. Tidak berhenti pada memberi, tapi membuka jalan agar yang diberi bisa mengamalkannya kembali.
Masjid ini juga sangat cermat membaca kondisi lingkungan. Di tengah komunitas yang didominasi keluarga muda dan profesional melek teknologi, mereka tidak segan menyesuaikan pendekatan. Maka lahirlah strategi digital yang cerdas. Mereka tahu bahwa eksistensi UMKM yang hadir dalam sepekan di lingkungan masjid tidak cukup hanya punya produk bagus. Harus bisa tampil. Harus bisa bicara. Maka Instagram, WhatsApp Business dan YouTube digunakan sebagai alat dakwah sekaligus pemasaran.
Pengalaman di Masjid Al Barkah mengingatkan saya pada konsep masjid sebagai markaz ummah yang pernah digagas oleh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Dalam pandangan beliau, masjid bukan hanya tempat ibadah vertikal (hablun minallah), tetapi juga pusat aktivitas horisontal (hablun minannas) yang mencakup pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan pemberdayaan sosial
Model seperti ini sangat relevan dengan Sunnah Rasulullah SAW yang menjadikan Masjid Nabawi sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan pengadilan. Masjid Al Barkah secara tidak langsung menerapkan prinsip maqashid syariah , yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Berdasarkan strategi bisnis berbasis digital dan filantropi produktif, mereka berhasil menjaga nilai-nilai agama sekaligus memenuhi kebutuhan duniawi jamaah Hal ini selaras dengan teori shariah compliance entrepreneurship yang menekankan bahwa usaha halal harus memberikan manfaat material dan spiritual.
Hal yang lebih istimewa lagi, model ini tidak bergantung pada bantuan luar, melainkan lahir dari kesadaran kolektif warga. Ini adalah contoh nyata implementasi community-based development dalam kerangka ekonomi syariah. Sebagaimana disebutkan dalam literatur pengembangan organisasi, keterlibatan aktif stakeholder lokal membuat program lebih berkelanjutan dan relevan dengan kebutuhan riil masyarakat
Saya melihat mahasiswa saya begitu antusias menyumbang gagasan ide konten. Mereka berencana membantu foto produk, membuat hook, caption dan mengatur promosi. Ini bukan hanya pelatihan manajemen lapangan. Ini pembelajaran hidup, namun bagaimana nilai syariah bisa dikemas jadi aktivitas ekonomi yang relevan, kekinian, dan tetap membumi.
Lingkungan Perumahan Relife Greenville sendiri memang menawarkan ekosistem yang mendukung. Kombinasi antara literasi digital yang tinggi, dukungan pengembang terhadap ruang usaha serta kesadaran konsumen terhadap produk halal dan lokal menjadi fondasi yang kuat bagi pertumbuhan UMKM di sekitar lingkungan masjid. Tapi semua itu tidak akan berarti kalau tidak direspons dengan strategi yang tepat. Masjid Al Barkah sudah menjawab tantangan itu dengan penuh kesadaran.
Apa yang mereka lakukan adalah contoh nyata bagaimana masjid bisa jadi motor penggerak ekonomi umat. Bukan sekadar jargon. Bukan sekadar proyek seremonial. Tapi upaya konsisten, berbasis data, terukur, dan punya arah jangka panjang. Bagi saya pribadi, kunjungan ke Al Barkah adalah pelajaran penting: bahwa masa depan ekonomi syariah bukan di ruang kelas atau seminar, tapi di tempat-tempat seperti ini—di masjid yang aktif, berjejaring, dan relevan. Masjid yang tidak hanya mengajar zikir, tapi juga cara bertani kopi, mengelola margin usaha, dan membaca tren pasar.
Saya meyakini jika model seperti ini dikembangkan dan dikontekstualisasikan dengan benar pada banyak masjid yang sudah berdiri, Indonesia bisa punya ratusan, bahkan ribuan Masjid Produktif yang bukan hanya jadi rumah spiritual, tapi juga jadi pilar ekonomi. Masjid yang bisa menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akarnya. Masjid yang tumbuh bersama warganya. Masjid yang tak sekadar berdiri megah, tapi juga menyalakan terang dengan menyajikan seteguk kopi, pemberdayaan UMKM, sebaris caption dakwah digital, semua saling terhubung. Inilah wajah baru masjid yang saya yakini: hidup, adaptif, dan menghidupkan.