INDONESIAN JOURNALIST WRITE THE TRUTH

31.1 C
Jakarta
Minggu, Mei 19, 2024

Menegakan Keadilan Bagi Penerima Subsidi BBM Ala Jokowi

Editorial Oleh : Budi Darmawan

BBM naik tinggi susu tak terbeli.
Orang pintar tarik subsidi mungkin bayi kurang gizi.

Itulah syair lagu sindiran Iwan Fals yang berjudul Galang Rambu Anarki yang dirilis pada tahun 1982.

Sedari dulu jaman orde baru, hingga orde paling paling baru, kebijakan pemerintah mensubsidi harga BBM dipandang sebagai kebijakan yang populis.

Subsidi BBM bak obat penawar rasa pahit mahalnya BBM. Ibarat obat yang terus terusan dikonsumsi, menjadi candu yang dosisnya terus bertambah karena virus harga BBM semakin kebal.

Dalam syair Galang Rambu Anarki yang didendangkan Iwan Fals itu juga menggambarkan orang pintar yang menarik subsidi. Sedangkan si miskin tetap miskin.

Yuk, coba tengok lebih dalam, orang pintar atau kaya makan subsidi BBM nya lebih banyak ketimbang orang miskin.

Harus dipercaya mereka mulai dari aparat khusunya pejabat pemerintah kota/kabupaten, provinsi dan pejabat eselon satu yang hidup dan kehidupannya dibayar negara makan subsidinya lebih dari rakyat jelata.

Kita hitung saja rata rata mereka memiliki satu mobil pribadi bahkan mungkin lebih dan BBM nya di subsidi negara. Sementara rakyat paling hanya sebuah sepeda motor. Mana yang paling banyak menerima manfaat subsidi?

Pun demikian para politisi yang duduk mulai di DPRD hingga DPR RI. Umunya mereka juga mendapat manfaat besar dari subsidi BBM. Berteriak menolak kenaikan BBM, menerima dan meminta tambahan subsidi.

Subsidi seakan obat satu satunya penangkal radikal akutnya lonjakan harga BBM. Bahkan dosisnya ditambah dengan suplemen konvensasi bantuan sosial.

Menghilangkan subsidi dicap tidak pro rakyat kecil. Padahal faktanya orang orang besar yang besar menerima manfaat subsidi.

Dampaknya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) semakin ambruk akibat dari kenaikan harga BBM yang terus meroket. Sementara politisi dan pemerintah seperti kehabisan akal.

Meski belum sampai pada titik klimaks, namun kulminasi beban APBN untuk biaya subsidi BBM dan konvensasi, menerpa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mentri Keuangan Sri Mulyani melalui siaran pers Senin 29/08/2022 menyampaikan,
Anggaran subsidi dan konvensasi energi tahun 2022 mencapai Rp. 502,4 triliyun.

Angka ini mengalami tiga kali pembengkakkan akibat harga minyak dunia terus naik.

Padahal jumlah subsidi dan konvensasi sebesar itu bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih produktif.

Naiknya harga minyak dunia akibat ada harga shock dari luar salah satunya dampak perang. Jka tidak ditanggulangi shocknya kata Sri Mulyani, akan menghantam ekonomi masyarakat kita. Ekonomi kita menjadi sangat berat.

Melihat kondisi tersebut, sudah pasti pemerintah akan menaikan harga BBM sekaligus penyesuaian subsidi dan konvensasi.

Padahal baik subsidi maupun konvensasi entri poinya sama, yaitu menambah belanja energi. Lalu dimana letaknya keberpihakn subsdi bagi rakyat kecil?

Jika rakyat kecil menerima BLT sebesar Rp.150 perbulan sebagai konvensasi dari naiknya harga BBM, uang sebesar itu bagi golongan menengah keatas hanya untuk sekali perjalanan beli BBM yang BBMnya juga di subsidi.

Bahkan pejabat biaya perjalanan dinas atau tukinnya ikut naik disesuaikan sebagai konvensasi dari naiknya BBM. Nah loh adilnya dimana? Siap yang paling diuntungkan oleh subsidi?

Di ujung penghabisan masa jabatan, dilema pencabutan subsidi BBM adalah momok menyeramkan bagi Presiden Jokowi. Meski secara sadar mungkin subsidi sudah tidak lagi relevan.

Namun setidaknya langkah Jokowi melakukan penyesuaian harga BBM  adalah langkah penyelamat ekonomi secara nasional. Meski subsidi dan konvensasi “belanja energi” ini juga turut naik, namun tidak harus jadi komoditas politik untuk saling menjatuhkan.

Keberanian Presiden Jokowi mengalihkan subsidi sektor produktif bagi peningkatan ekonomi masyarakat kecil patut mendapat dukungan. Langkah ini paling tidak sebuah jalan menuju asas keadilan dalam pengalokasian dana subsidi.

Butuh keberanian lebih Jokowi melakukan tindakan radikal mencabut subsidi dengan pelan pelan. Ini untuk memperkecil hutang luar negara yang akan menjadi warisan generasi mendatang.

Amputasi penyakit masyarakat menengah ke atas yang ketergantungan menikmati besarnya subsidi.

Terakhir mohon maklum jika penulis sedikit iri, pasalnya menikmati subsidinya dari dulu cuma dari dua liter bensin tiap dua hari. Beda jauh toh dengan bapak bapak pejabat.

Latest news
Related news