32.5 C
Jakarta
Kamis, April 24, 2025
spot_img

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Nelayan Rembang Keberatan Pasang VMS untuk Kapal di Bawah 30 GT

Nelayan di Kabupaten Rembang menyuarakan keberatan terhadap kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mewajibkan pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) pada kapal perikanan. Aspirasi tersebut disampaikan dalam forum audiensi bersama DPRD Rembang, organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, dan perwakilan KKP, yang berlangsung di ruang Rapat Paripurna DPRD Rembang pada Rabu (23/4/2025).

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Rembang, Muslim, menyampaikan bahwa ada tiga faktor utama yang memberatkan nelayan terhadap kebijakan pemasangan VMS. Di antaranya adalah harga perangkat yang cukup tinggi, biaya tahunan untuk koneksi airtime, serta kebutuhan perawatan alat yang berkelanjutan.

“Khususnya nelayan Rembang yang notabenenya nelayan mini  kursin di bawah 30 GT masih merasa keberatan. Kami minta agar pemerintah meninjau ulang kebijakan ini dan mempertimbangkan kondisi ekonomi nelayan saat ini,” ungkap Muslim.

Ia menambahkan, nelayan pada dasarnya tidak menolak regulasi pemerintah, namun meminta adanya dukungan berupa subsidi atau penganggaran alat VMS melalui APBN agar beban tidak ditanggung sendiri oleh nelayan.

“Nelayan menolak VMS terkecuali kalau pengadaannya ditanggung subsidi pemerintah atau dianggarkan melalui APBN,” tegasnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Halid K. Jusuf, menegaskan bahwa aspirasi nelayan akan disampaikan langsung kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Ia menilai penolakan terhadap kebijakan merupakan bagian dari hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat atas regulasi pemerintah.

“Kami menyerap semua masukan yang disampaikan oleh nelayan terkait VMS. Relaksasi pemasangan alat ini masih berlaku hingga 31 Desember 2025. Evaluasi juga dilakukan secara bertahap,” jelas Halid.

Ia menyebutkan bahwa harga perangkat VMS berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 5 juta, tergantung spesifikasi. Adapun biaya airtime tahunan juga bervariasi, dengan kisaran harga termurah sekitar Rp 4,5 juta tergantung ukuran kapal.

Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi sudah diterapkan secara global sebagai bagian dari sistem pemantauan dan pengawasan aktivitas penangkapan ikan.

“Dunia internasional juga sudah memanfaatkan VMS, tidak hanya di Indonesia. Sebenarnya lebih banyak kemaslahatannya. Yang jelas nilai manfaat dan kegunaan VMS itu yang harus kita lihat,” imbuh Halid.

Ketua DPRD Rembang, Abdul Rouf, dalam kesempatan tersebut menyatakan siap meneruskan aspirasi para nelayan ke tingkat yang lebih tinggi, dalam hal ini DPR RI.

“Sebagai wakil rakyat di daerah, kami memiliki kewenangan untuk menampung dan menyampaikan aspirasi ke pemerintah pusat. Kami apresiasi para nelayan yang menyampaikan pendapat secara santun dan tertib,” ujarnya.

Audiensi ini diharapkan menjadi jembatan komunikasi antara nelayan dan pembuat kebijakan, sehingga kebijakan yang diambil dapat lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat nelayan. ( Dwi.s )

Berita Terkait