Oleh Aprinus Salam.
Njoget dan menari itu pastilah beda. Ketika para politisi dan pejabat Indonesia atau Nepal menggoyangkan tubuhnya, tidak bisa disebut menari. Njoget itu gerakan sembarangan, asal-asalan, tak beraturan, dan sebagai ekspresi kegembiraan.
Bukan orang tidak boleh njoget, bukan orang tidak boleh gembira. Tapi perlu pada tempatnya. Kalau njoget gembira karena mendapat gaji yang besar, sementara orang itu sudah hidup dalam gelimang harta dan kemewahan, itu sakit dan menyakitkan.
Jangan heran kalau kemudian rakyat marah. Rakyat marah karena njoget itu seperti orang tidak tahu diri. Rakyat tidak mau jika dipimpin oleh orang yang tidak tahu diri. Jadi, demo dan semua hal terkait dengan adanya kekerasan terhadap pemimpin yang njoget adalah sebagai upaya agar mereka kembali untuk menjadi manusia yang tahu diri.
Memang, rakyat miskin juga njoget. Kalau ada acara-acara kampung, ada dangdutan, maka rakyat akan njoget. Tapi jogetan mereka beda. Itu lebih sebagai ekspresi melupakan hidup yang berat. Sebagai upaya mendapatkan secuil kegembiraan di tengah hidup yang susah menjerat.
Bahkan, mahasiswa tidak mau kalau untuk ikut njoget. Tapi itu cara mahasiswa meluapkan kegembiraan karena sedang menghargai prestasi. Mungkin juga karena gembira bisa melewati prosedur-prosedur tuntutan kuliah yang berat dan aneh-aneh. Mungkin sebagai ekspresi solidaritas.
Menari juga menggoyang dan menggerakkan tubuh. Tapi tidak bisa disebut sebagai njoget. Menari bukan gerakan yang asal-asalan dan sembarangan. Menari itu butuh disiplin dan latihan.
Pun, menari bukan eksrepsi kegembiraan. Menari adalah ekspresi penghayatan terhadap kehidupan. Hampir semua masyarakat di lokal-lokal, di kampung-kampung, dari Papua hingga Aceh, juga di seluruh dunia, mereka menari dan punya tarian.
Mayarakat menari dengan ekspresinya masing-masing. Mungkin sebagai cara beradaptasi dengan alam. Situasi dan kondisi alam sangat menentukan bagaimana manusia mengharmoni dengan tanah dan pohon-pohon. Mungkin perlu menghentak, mungkin perlu melambai.
Menari pun sebagai cara bersahabat dengan para hewan. Bagaimana menjadi seperti seekor burung, kera, harimau, ular, dan sebagainya. Kehidupan natural sebagai inspirasi, sekaligus sebagai upaya menjaga agar kehidupan selalu terintegrasi dengan hal-hal alamiah.
Menari bisa menjadi sangat filosofit, sosiologis, dan historis. Menari menjadi cara manusia mengekspresikan berbagai pikirannya dalam gerakan-gerakan yang penuh dengan simbolisme, mungkin legalisasi, legitimasi, tetapi sangat mungkin juga resistesi.
Menari bisa menjadi ajang dan ruang bagaimana manusia terkoneksi dengan berbagai ragam kehidupan dan pengetahuan. Menari sebagai ruang relasional itu sendiri. Menari sebagai cara masyarakat merekam berbagai hal pada masa lalu. Menari adalah suatu warisan yang sangat historis.
Beberapa waktu yang lalu, di beberapa kota di Indonesia, dan tentu saja terutama Yogya, pernah menggelar tarian di berbagai jalan, di mall, dan di tempat-tempat publik lainnya. Gagasan dan praktik baik ini harus terus menerus digalakkan, agar berbagai pihak beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan masyarakat menari.
Menari bisa menjadi cara masyarakat untuk “mengontrol” kegembiraan para penguasa. Karena akan terlihat dalam acara seperti Rapat DPR, MPR, atau Kementeritan, bahkan perusahaan-perubahan besar, njoget terlihat brutal dan kriminal.
Atau, para pejabat dan petinggi, perlu lebih serius belajar dan menghayati tarian. Agar mereka lebih beradab. Tentu para peinggi itu silakan tetap njoget di ruang-ruang privat. Itu urusan pribadilah.