27.3 C
Jakarta
Rabu, April 2, 2025
spot_img

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Perjuangan Kebudayaan

Wartain Banten: Artikel | 1 April 2024Bagaimana memahami perjuangan kebudayaan? Saya mulai dari sebuah misal tentang aji mumpung. Jika aji mumpung diartikan sebagai sikap-sikap atau cara-cara memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mendapatkan keuntungan sepihak, maka aji mumpung itu terminologi politik dan/atau ekonomi, bukan kebudayaan. Sebagai bukti, justru kebudayaan menolak aji mumpung tersebut. Sesuatu yang ditolak kebudayaan, maka sesuatu itu bukan kebudayaan.

Seperti lazim dipahami, yang dimaksud kebudayaan adalah praktik-praktik hidup yang berorientasi pada perjuangan untuk kebajikan bersama, menjunjung etika dan estetika, juga penghormatan terhadap martabat kemanusiaan dalam posisinya sebagai makhluk semesta. Semua hal terkait dengan perjuangan kebajikan tersebut adalah proses-proses berkebudayaan itu sendiri.

Dengan demikian, ruang besar kehidupan memang seolah kebudayaan, tetapi bukan berarti segala sesuatunya merupakan produksi kebudayaan. Hal-hal kejahatan, dalam berbagai level dan skalanya, adalah praktik hidup yang selalu dilawan oleh kebudayaan. Jadi, tidak benar adanya frasa budaya aji mumpung, budaya korupsi, budaya nepotisme,budaya kolusi, dan sebagainya.

Sama halnya dengan adanya ketidakadilan atau ketimpangan sosial. Kebudayaan tidak pernah memproduksi ketidakadilan atau ketimpangan sosial. Memang benar bahwa  dalam kehidupan terjadi ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Hal tersebut terjadi karena manusia perlu berusaha untuk menyelamatkan dan mengamankan hidupnya sehingga persaingan untuk menyelamatkan dan mengamankan kehidupan tersebut berefek pada adanya konflik dan ada yang tampil dominan.

Banyak praktik hidup dalam penyelamatan dan pengamanan itu manusia memanfaatkan hal-hal aji mumpung. Aji mumpung menjadi satu cara pragmatis untuk memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada demi perhitungan yang menguntungkan penyelamatan dan pengamanan hidup. Dalam praktik ini, aji mumpung adalah suatu praktik politik atau ekonomi.

Situasi tersebut dilegitimasi dalam praktik-praktik yang inheren dalam struktur dan relasi kekuasaan. Kita tahu, banyak kekuasaan tidak berlandaskan kebudayaan, tetapi berdasarkan ideologi politik dan ekonomi tertentu. Sebagai akibatnya, sangat jarang kekuasaan melahirkan keadilan, kesejahteraan, bahkan demokrasi. Karena karakter kekuasan memang aji mumpung itu sendiri, mumpung berkuasa.

Pada tataran kekuasaan bernegara, misalnya, karena perkembangan dan dominasi kuasa kapitalisme, negara mengadopsi ideologi tersebut sebagai cara untuk menyelamatkan dirinya dari kuasa struktur ideologi global. Sebagai resikonya, masyarakat juga terjebak dalam kuasa ideologi tersebut. Dapat dibayangkan, dalam kehidupan seperti itu, kebudayaan mendapat tantangan yang kuat dan besar justru melawan implikasi dari politik kekuasaan.

Misal lain, bagaimana dengan praktik berkesenian. Seperti kita tahu, berkesenian adalah cara-cara manusia mengekspresikan dirinya dalam berbagai bentuk dan sifat yang bisa dikerjakan oleh manusia. Bahkan orientasi seni itu sendiri adalah upaya-upaya untuk menghadirkan sesuatu yang disepakati sebagai hal indah dan baik. Tidak ada hal dari kesenian yang bertentangan dengan kebudayaan. Dengan demikian, kesenian adalah sesuatu yang inheren dalam kebudayaan.

Masalahnya, kemudian, kesenian menjadi ajang komersial dan komoditas, bahkan menjadi alat politik dan ekonomi kekuasaan. Proses dan mekanisme politisasi dan ekonomisasi itu sendiri jelas tidak berjalan selaras dengan kebudayaan. Dalam situasi tersebut, berkesenian pun menjadi alat untuk penyelamatan dan pengamanan diri. Itulah pula sebabnya, muaranya, kesenian tidak memiliki kekuataan sebagai substansi penting kebudayaan.

Berdasarkan itu, berkesenian seharusnya perlu diposisikan kembali sebagai perjuangan melawan kenyataan sosial yang berjalan secara tidak berbudaya. Di sinilah letak penting kesenian. Dapat dibayangkan, dan juga dapat dilihat di berbagai tempat, ketika masyarakat sibuk dengan urusan kerjaannya masing-masing. Sibuk bekerja dan bersaing sehingga di tempat tersebut tidak ada kesenian. Jika tidak ada kesenian maka tempat itu tidak berbudaya,

Jadi, boleh dikata, hidup berbudaya adalah hidup yang berjuang melawan ketidakadilan, ketimpangan sosial, bahkan melawan efek politik kekuasaan yang tidak berasas kebudayaan. Bisa jadi, ini akan menjadi perjuangan abadi kebudayaan. Akan tetapi, justru di situlah makna hidup yang indah dan penuh pengabdian sedang ditegakkan.(Wartain Banten)

Aprinus Salam

Berita Terkait