26.7 C
Jakarta
Minggu, Februari 23, 2025
spot_img

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Polresta Jakarta Pusat Diduga Kuat Ditunggangi Edi Wijaya dalam Melakukan Pemerasan

Jakarta // warta.in – Polres Metro Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya, diduga kuat telah diperdaya dan ditunggangi oleh seorang pria bernama Edi Wijaya untuk melakukan pemerasan terhadap rekannya sendiri, Yusi Ananda, sebesar Rp. 2 milyar.

Moduspemerasan dengan memanfaatkan celah hukum pasal 378 dan Pasal 372 KUHP (penipuan dan penggelapan – red) digunakan Edi Wijaya yang merupakan Direktur Utama PT. Prima Mesra Lestari untuk merampok uang dari Yusi Ananda yang merupakan Komisaris Utama dari PT. Prima Mesra Lestari yang mereka dirikan bersama.

Dugaan pemerasan ini muncul dari tindakan Edi Wijaya yang melaporkan komisarisnya itu ke Polres Metro Jakarta Pusat, dengan bukti laporan polisi nomor: LP/B/2744/XI/2023/SPKT/POLRES METRO JAKPUS/POLDA METRO JAYA, tertanggal 14 November 2023. Edi Wijaya menuduh Yusi Ananda telah melakukan penipuan dan penggelapan sejumlah Rp. 2 milyar. Anehnya, perkara yang jelas-jelas merupakan delik perdata tersebut diproses oleh Polres Metro Jakarta Pusat.

Kasus ini menarik untuk dicermati dan patut dicurigai sebagai sebuah konspirasi mafia hukum untuk mengkriminalisasi Yusi Ananda, yang dikenal sebagai musisi dan pencipta lagu dan pengusaha bidang penyediaan jasa pengangkutan hasil tambang batubara itu. Bagaimana tidak? Pria kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 59 tahun lalu ini dipanggil polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi pada hari Jumat, 21 Februari 2025, dan langsung ditetapkan sebagai tersangka, plus langsung ditahan.

Bertambah aneh lagi, Polres Metro Jakarta Pusat mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Yusi Ananda bernomor: SP.Kap/49/II/Res.1.11/2025/Restro Jakpus, tertanggal 22 Februari 2025. Berdasarkan runutan waktu, bagaimana mungkin surat perintah penangkapan dikeluarkan untuk seseorang yang sudah berada di kantor polisi dan telah dinyatakan ditahan. Kemanakah logika kewarasan berpikir Kapolres Metro Jakarta Pusat?

Ketika media bersama penasehat hukum tersangka mendatangi ruangan penyidik AKP Rachmat Basuki, S.H., M.H., NRP 71110043, diperoleh keterangan bahwa penyidik hanya menjalankan perintah atasan. “Izin, mohon maaf Jenderal, kami hanya menjalankan perintah atasan,” ucap AKP Rachmat Basuki kepada Irjenpol (Purn) Dr. Abdul Gofur, S.H., M.H. dan Brigjenpol (Purn) Drs, Hilman Thayb, M.Si, dari tim penasehat hukum Yusi Ananda, Jumat malam, 21 Februari 2025.

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diterima media ini, diketahui bahwa ada permintaan uang sebesar Rp. 2 milyar dari pelapor Edi Wijaya kepada terlapor dengan dalih pengembalian uang pembelian lahan milik Yusi Ananda yang menjadi obyek perkara di antara direktur utama dan komisaris utama PT. Prima Mesra Lestari itu. Dana sebesar Rp. 350 juta telah dibayarkan oleh Yusi Ananda melalui transfer ke Edi Wijaya, dan sisanya Rp. 1,6 milyar dalam bentuk cheque dititipkan langsung ke penyidik Bripka Eko Haryanto, NRP 79121125.

Atas penitipan dana sebesar Rp. 1,6 milyar ini, muncul spekulasi bahwa Polres Metro Jakarta Pusat memainkan peran untuk memuluskan niat Edi Wijaya memeras komisaris utama perusahaan dua sahabat itu. Padahal, uang milik Edi Wijaya untuk pembayaran lahan yang sudah disetorkan ke Yusi Anada sebagai pemilik lahan hanyalah Rp. 350 juta.

Pertanyaan kritis publik adalah ‘apa motivasi Edi Wijaya meminta uang sebesar Rp. 2 milyar, sementara uang yang sudah diberikannya kepada Yusi Ananda hanya Rp. 350 juta?’ Bukankah ini merupakan keganjilan yang mesti mendapat analisis kritis bagi oknum polisi yang menyidik kasus itu? Ataukah para oknum polisi ikut bermain dalam kasus ini?

Untuk mengetahui latar-belakang dan asal-muasal kasus unik bernuansa pemerasan dengan menunggangi aparat kepolisian tersebut, berikut dibeberkan secara singkat kronologi awal kasusnya.

Pada April tahun 2022, Yusi Ananda berkenalan dengan Edi Wijaya melalui seorang teman bernama Wetman Sinaga. Menurut Wetman Sinaga, Edi Wijaya adalah investor yang ingin bekerjasama dengan Yusi Ananda dalam bidang penyediaan jasa pelabuhan (jetty) batubara di Kalimantan Timur. Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Hotel Des Indes, Jakarta Pusat, itu, Yusi Ananda menyampaikan bahwa dirinya memiliki beberapa pelabuhan dan lahan kosong untuk dibangun pelabuhan baru.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan PT. Prima Mesra Lestari. Yusi Ananda menjabat sebagai komisaris utama dengan modal saham 30 persen atau Rp. 300 juta. Sementara rekannya, Edi Wijaya sebagai direktur utama dengan modal saham 70 persen atau Rp. 700 juta.

Selanjutnya, Yusi Ananda menawarkan atau menjual lahannya seluar 167.000 meter persegi yang berlokasi di Desa Krayan Makmur, Kecamatan Long Ikis, Kabuapten Passer, Kalimantan Timur kepada PT. Prima Mesra Lestari. Lahan ini akan digunakan untuk membangun Pelabuhan Long Ikis.

Harga yang disepakati adalah Rp. 75.000 / meter persegi, atau total Rp. 12.525.000.000,- dengan uang muka (down payment) alias investasi awal dari Edi Wijaya sebesar Rp. 5 milyar. Keduanya sepakat membuat Perjanjian Perikatan Jual-Beli (PPJB) atas tanah tersebut dengan termen pembayaran: tahap pertama Rp. 2 milyar, tahap kedua Rp. 1 milyar, tahap ketiga Rp. 2 milyar, dan tahap keempat Rp.7.525.000.000,- Atas kesepakatan PPJB itu, dokumen surat kepemilikan tanah berpindah tangan dari Yusi Ananda kepada Edi Wijaya sebagai Direktur Utama PT. Prima Mesra Lestari.

Dalam pelaksanaan kesepakatan tersebut, Edi Wijaya hanya dapat membayar sebesar Rp. 350 juta kepada Yusi Ananda. Uang ini digunakan untuk pembersihan lokasi yang akan dibangun pelabuhan. Menurut pengakuan Yusi Ananda sebagaimana tertuang dalam BAP, dirinya tidak pernah menerima uang pembayaran lagi dari Edi Wijaya hingga saat ini.

Setelah perusahaan berjalan lebih dari 1 tahun, April 2022 – November 2023, ternyata rencana pembangunan dan operasional pelabuhan tidak berjalan mulus alias mandek. Kondisi yang kurang menguntungkan ini dimanfaatkan oleh Edi Wijaya untuk mempersoalkan hambatan pembangunan pelabuhan dengan menuduh Yusi Ananda telah menipunya, dan membuat laporan polisi di Polresto Jakarta Pusat.

Sementara itu, merespon pertanyaan penyidik soal belum terbangunnya pelabuhan yang diinginkan PT. Prima Mesra Lestari, Yusi Ananda menjawab karena dirinya belum mendapat pembayaran sebesar Rp. 5 milyar sebagaimana isi perjanjian, padahal untuk membangun sebuah pelabuhan perlu biaya besar. Sebagai tambahan keterangannya dalam BAP, Yusi Ananda menyebutkan bahwa di dalam perjanjian kesepakatan antara dirinya dengan Edi Wijaya, terdapat klausul ‘’Bilamana terjadi perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian, para pihak sepakat menyelesaikannya secara musyawarah dan kekeluargaan, dan apabila tidak dapat diselesaikan maka melalui penyelesaian di Paniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.’ Selain itu, Yusi Ananda menegaskan dalam BAP-nya bahwa dirinya telah mengembalikan uang Edi Wijaya sebesar Rp. 350 juta.

Kini, terdapat tiga pertanyaan mendasar, yakni:-

Apa motif dan atau alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum bagi Edi Wijaya untuk meminta pengembalian uang Rp. 2 millar kepada Yusi Ananda?

– Mengapa oknum penyidik Bripka Eko Haryanto bersedia menerima titipan dana berbentuk cheque senilai Rp. 1,6 milyar untuk Edi Wijaya?

– Mengapa kasus yang hakekatnya merupakan delik perdata bisa serta-merta diproses pidana oleh Polres Metro Jakarta Pusat?

Atas kasus aneh bin ajaib ini, publik berharap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Dr. Susatyo Purnomo Condro, S.H., S.I.K., M.Si., bersama jajarannya. Profesionalisme para penyidik Polresto Jakarta Pusat yang menangani kasus ini patut dipertanyakan, jangan sampai mereka menggunakan jimat ‘aji mumpung’ yang berperkara adalah orang-orang berduit sehingga menggunakan kewenangan hukum dengan sewenang-wenang untuk meraup keuntungan pribadi dan atau kelompoknya. (Samsul/Red/Tim)