Warta.in-Mukomuko,Bengkulu.
Menanggapi pemberitaan yang menyudutkan perjuangan masyarakat Desa Ujung Padang dan mendewakan sertifikat negara seolah tak bisa disentuh oleh kebenaran sejarah dan hukum adat, para tokoh masyarakat, RT, Kepala Dusun, serta kepala kaum dari enam suku besar di Desa Ujung Padang secara tegas menyatakan bantahan keras terhadap isi berita tersebut.Kamis.(17/07/2025).
Sertifikat Negara Tidak Kebal Hukum,”
Dalam pemberitaan tersebut seolah digambarkan bahwa klaim adat dianggap “dadakan” dan tak dapat melawan “kekuatan hukum” dari sertifikat negara. Padahal secara hukum, hal itu tidak benar.
Pakar hukum agraria Prof. Maria SW Sumardjono telah berulang kali menyatakan bahwa:
“Sertifikat bukan bukti mutlak hak atas tanah. Sertifikat adalah bukti administratif yang bisa dibatalkan bila terbukti cacat prosedur, melanggar hukum, atau diperoleh dengan cara yang tidak sah.”
Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa:
“Masyarakat hukum adat berhak atas wilayahnya meskipun tidak memiliki bukti administratif, selama dapat dibuktikan penguasaan nyata berdasarkan hukum adat yang hidup dan diakui masyarakat.”
Fakta Lapangan: SP7 Baru Dibuka Setelah 1995, Sebelumnya Hutan Gambut Dalam.
Tokoh masyarakat, termasuk para RT dan kepala dusun di wilayah Talang Karet—lokasi yang sekarang diklaim warga SP7 Rawa Mulya—membantah keras narasi bahwa warga transmigrasi telah menggarap lahan sejak 1991.
Pak Syamsul, saksi lapangan yang juga RT setempat sejak 1980-an, menyatakan:
“Saya setiap hari sejak tahun 1985 menggembala kerbau di lahan 70. Waktu itu masih hutan gambut dalam. Tidak ada satu pun penduduk yang menanam di sana. Tahun 1995 baru datang Pak Edi dari Bengkulu, dan membuka kebun kolektif bersama warga Ujung Padang.”
Bukti Dokumen Resmi Lahan 70 Ha yang dikelola secara sah dan dokumen ini ditandatangani oleh Kepala Desa Ujung Padang,Ketua BPD,Camat Mukomuko Utara,Kepala-Kepala Kaum dari 6 suku besar di Desa Ujung Padang, serta Pihak Penggarap kebun pada masa tahun 90 an masih tersimpan rapi oleh tokoh-tokoh adat dan kepala kaum.
Klaim Sertifikat SP7 Diragukan: Tak Diketahui Proses Objek dan Penguasaan Nyata.
Sertifikat yang diklaim oleh warga SP7 Rawa Mulya tidak menjelaskan,”
– Letak bidang,
– Dasar penguasaan,
– Surat pelepasan dari masyarakat setempat,
– Apakah melalui prosedur pengukuran dan persetujuan desa.
Jika hal ini tidak bisa dibuktikan, maka sesuai Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960, sertifikat tersebut pasti dibatalkan oleh pengadilan.
Peringatan dari Menteri ATR/BPN: Sertifikat Bisa Dibatalkan.
Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto pernah menyatakan:
“Sertifikat tidak berlaku apabila prosesnya cacat atau terjadi konflik. Kami akan cabut dan batalkan jika terbukti ada manipulasi.”
Jangan Jadikan Sertifikat sebagai Alat Menindas Masyarakat Lokal.
Warga Desa Ujung Padang menyampaikan:
“Kami bukan anti pendatang. Tapi kami punya sejarah dan hak adat. Kalau kalian abaikan semua itu lalu hanya bermodal sertifikat misterius, lalu menuduh kami merampas? Ini bukan negara kolonial.
Kalian yang harus hormati kami, bukan sebaliknya.”
Toha yang mewakili pemuda masyarakat asli pribumi mengingatkan kepada media seharusnya bersikap adil dan berimbang, bukan menjadi corong satu pihak.
Fakta sejarah, bukti lapangan, dan dokumen hukum menunjukkan bahwa klaim sepihak atas lahan masyarakat adat dan kolektif di Ujung Padang oleh pihak tertentu dari SP7 Rawa Mulya sangat layak diuji dan patut diragukan keabsahannya, dan kami sebagai masyarakat pribumi mengingatkan kepada kalian jangan coba-coba pancing-pancing kami penduduk pribumi. Sekali lagi kami ingatkan akan hal itu tutupnya.
Pewarta :Hidayat
Editor:Harry
SUMBER: (LP-KPK).