30.1 C
Jakarta
Rabu, Oktober 15, 2025

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Tuntutan CSR Tak Tergubris: Warga Nilai PKS PT KSM Hanya Mengejar Untung

Warta.in-Mukomuko

Suara masyarakat terhadap keberadaan perusahaan kelapa sawit (PKS) PT Karya Sawitindo Mas (KSM) di Desa Tanjung Alai, Kecamatan Lubuk Pinang, Kabupaten Mukomuko, kembali menggema.

Warga menilai, keberadaan perusahaan yang sudah lama beroperasi di kawasan padat penduduk itu belum memberi manfaat signifikan bagi kesejahteraan sosial, pendidikan, dan lingkungan sekitar.

Keluhan masyarakat umumnya berfokus pada minimnya realisasi program Corporate Social Responsibility (CSR) yang semestinya menjadi kewajiban sosial perusahaan.
Selain itu, warga juga menyoroti dampak lingkungan dari limbah pabrik yang diduga mencemari sungai dan merusak tanaman pertanian warga.

“Limbah dari pabrik sudah sering mencemari air sungai dan sawah. Tanaman kami rusak, tapi tidak ada solusi dari pihak perusahaan,” keluh seorang warga kepada media ini, Rabu (15/10/2025)

Kritik juga diarahkan pada program CSR yang dianggap tidak tepat sasaran dan tidak berkelanjutan. Banyak warga menilai, kegiatan CSR perusahaan hanya bersifat sementara tanpa memberikan efek jangka panjang terhadap kemandirian ekonomi masyarakat.

Meski pihak perusahaan pernah menyebut telah menjalankan beberapa program sosial, warga merasa manfaatnya tidak dirasakan secara merata dan transparansinya patut dipertanyakan.

Masyarakat berharap pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Mukomuko tidak tinggal diam dalam persoalan ini.
“Pemerintah harus hadir untuk memfasilitasi masyarakat kecil. Jangan tunggu ada gejolak baru bergerak,” ujar salah seorang tokoh pemuda desa pauh terenja Dan desa lubuk Sanai.

Senada dengan itu, Arios Santoso, S.A., warga Kecamatan XIV Koto, menyampaikan kritik tajam terhadap sikap diam pemerintah daerah.

“Kami menilai pemerintah daerah dan DPRD Mukomuko jalan di tempat. Tidak ada langkah tegas terhadap tuntutan masyarakat. Padahal mereka punya kewenangan di bidang lingkungan hidup untuk menindak perusahaan yang abai,” ujarnya kepada awak media.

Menurut Arios, kondisi di lapangan sangat memprihatinkan. Banyak warga masih menganggur, infrastruktur desa rusak, dan perekonomian stagnan.

“Apa fungsi hadirnya perusahaan kalau hanya membawa dampak negatif bagi masyarakat? Kalau lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, lebih baik ditutup saja,” tegasnya.

Kajian seorang pakar hukum lingkungan dari beberapa Universitas, menjelaskan bahwa kewajiban perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan sudah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan:

“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.”

Menurutnya, apabila PT KSM terbukti tidak melaksanakan program CSR secara konsisten dan proporsional terhadap masyarakat sekitar, maka pemerintah daerah memiliki dasar hukum untuk melakukan evaluasi, teguran, atau bahkan pembekuan izin usaha.

Sementara itu, salah seorang pakar hukum tata lingkungan dalam beberapa kajiannya, menegaskan bahwa dugaan pencemaran akibat limbah industri sawit dapat masuk dalam kategori pelanggaran pidana lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Pasal 98 UU 32/2009 dengan jelas menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa dalam konteks CSR, pengawasan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat harus berjalan beriringan, agar program tersebut tidak hanya menjadi formalitas atau sekadar laporan administrasi.

“CSR bukan belas kasihan, tapi kewajiban hukum. Jika tidak dijalankan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan, maka kehadiran perusahaan justru melanggar tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs),” ujarnya.

Masyarakat berharap ke depan perusahaan benar-benar menunaikan kewajiban sosialnya dengan program CSR yang transparan, berkelanjutan, dan menyentuh kebutuhan riil warga.
Mereka juga meminta pemerintah daerah serta DPRD melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk memastikan pengawasan terhadap potensi pencemaran lingkungan.

Keberadaan industri kelapa sawit di daerah seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi lokal, bukan sumber konflik sosial dan lingkungan.
Kini masyarakat menunggu langkah nyata dari semua pihak agar tuntutan yang selama ini “jalan di tempat” tidak terus menjadi beban sosial tanpa ujung. (TIM RED)

Berita Terkait