26.8 C
Jakarta
Kamis, Oktober 16, 2025

Wartawan Investigasi

Pencari Bukti Yang Tersembunyi

Upaya Pembungkaman, Wartawan Dihadang dengan Parang Saat Liput Proyek Jembatan di Rejang Lebong

Warta.in-Rejang Lebong, Bengkulu

Ancaman terhadap kebebasan pers kembali terjadi. Seorang wartawan media online di Bengkulu, Amin Gondrong, mengalami tindakan intimidatif saat menjalankan tugas jurnalistik di Desa Kayu Manis, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Ia dihadang oleh seorang warga yang membawa parang, ketika tengah meliput proyek pembangunan jembatan gantung di daerah tersebut.

Insiden ini bermula dari laporan masyarakat mengenai jalan desa yang rusak akibat aktivitas alat berat milik pihak pelaksana proyek. Menindaklanjuti informasi itu, Amin bersama timnya turun langsung ke lapangan untuk melakukan verifikasi dan dokumentasi kondisi proyek.

“Setibanya di lokasi, kami menemukan adanya kebenaran informasi bahwa jalan rusak memang akibat lalu lintas alat berat milik pelaksana proyek jembatan gantung,” ujar Amin, Rabu (15/10/2025).

Namun, saat tim hendak melakukan peninjauan lanjutan untuk mengonfirmasi pihak pelaksana proyek, situasi berubah mencekam. Seorang warga yang diduga memiliki hubungan kepentingan dengan proyek tersebut tiba-tiba muncul dan menghadang tim sambil mengacungkan sebilah parang.

Meski dihadang, Amin dan rekan-rekannya tetap tenang dan memilih tidak melawan. Mereka kemudian melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Selupu Rejang untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Kapolsek Selupu Rejang, Iptu Ibnu Sina Alfarobi, membenarkan adanya laporan dari jurnalis tersebut.

“Benar, ada laporan dari seorang wartawan yang dihadang saat meliput. Kami sedang memeriksa saksi-saksi dan mengumpulkan bukti di lapangan,” jelasnya.

“Kami pastikan kasus ini akan diusut tuntas. Tidak boleh ada bentuk intimidasi, apalagi ancaman kekerasan terhadap jurnalis di wilayah hukum kami,” tegas Ibnu Sina.

Peristiwa ini menambah daftar panjang ancaman terhadap kebebasan pers di daerah. Tindakan menghadang, mengintimidasi, atau mengancam jurnalis dengan senjata bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak publik atas informasi.

Menurut pengamat media dari Bengkulu Institute for Press Freedom, tindakan seperti ini mengindikasikan upaya pembungkaman terhadap kerja jurnalistik yang kritis dan independen.

“Ini bukan sekadar penghadangan fisik, tapi bentuk pembungkaman terhadap suara kebenaran. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik, bukan musuh masyarakat,” ujar salah satu pengamat media lokal yang enggan disebutkan namanya.

Ia menegaskan bahwa pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers serta memberikan perlindungan hukum terhadap wartawan dalam menjalankan profesinya. Setiap bentuk kekerasan atau ancaman terhadap jurnalis dapat dijerat dengan pidana.

Kasus ini kini menjadi perhatian luas kalangan pers di Bengkulu. Sejumlah organisasi wartawan menyerukan agar aparat penegak hukum tidak berhenti pada penyelidikan formalitas, melainkan benar-benar menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku intimidasi.

“Kami mendesak polisi untuk mengusut motif di balik tindakan itu. Jangan sampai ada intervensi pihak-pihak yang ingin menutupi dugaan penyimpangan proyek,” kata salah satu pengurus organisasi pers daerah.

Insiden ini memantik reaksi keras dari sejumlah pakar jurnalistik dan pegiat kebebasan pers. Mereka menilai bahwa penghadangan wartawan dengan senjata tajam merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sekaligus bentuk nyata dari upaya pembungkaman terhadap kerja jurnalistik.

Salah satu pakar komunikasi dan media menyebut peristiwa itu mencoreng wajah kebebasan pers di daerah.

“Wartawan adalah mata dan telinga publik. Menghadang jurnalis dengan parang bukan hanya ancaman fisik, tapi ancaman terhadap fungsi kontrol sosial pers. Ini harus diusut tuntas agar tidak menjadi budaya takut di kalangan wartawan,” ujarnya.

Sementara itu, Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., MA, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menilai tindakan tersebut sebagai bentuk teror terhadap jurnalis independen.

“Kejadian seperti ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat dan pihak-pihak tertentu terhadap peran pers. Aparat harus bertindak cepat, karena pembiaran hanya akan memperkuat iklim anti-kritik dan memperlemah demokrasi,” tegasnya.

Beberapa para pemerhati jurnalistik menambahkan bahwa kekerasan terhadap wartawan kerap terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan kurangnya edukasi publik tentang hak-hak pers.

“Kekerasan terhadap wartawan adalah bentuk represi terhadap informasi publik. Polisi dan Dewan Pers perlu memperkuat sinergi dalam melindungi jurnalis di lapangan. Kita tidak boleh membiarkan kasus seperti ini berlalu tanpa efek jera,” katanya.

Kejadian di Rejang Lebong ini menjadi pengingat keras bahwa kerja jurnalistik di lapangan masih penuh risiko, terutama saat menyentuh isu proyek pemerintah yang sarat kepentingan ekonomi dan politik.

Kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Ketika seorang jurnalis dihadang dengan parang, itu bukan hanya ancaman terhadap individu, tapi teror terhadap kebenaran dan hak publik untuk tahu.

Masyarakat kini menanti langkah tegas aparat hukum, agar insiden ini tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Bengkulu dan Indonesia pada umumnya.

Pewarta:(Hidayat Saleh)

Berita Terkait